Perpindahan

Sebenarnya postingan kali ini cukup banyak terpengaruh dan terinspirasi dari tulisan Raditya Dika dalam novel barunya, “Manusia Setengah Salmon”. Saya merasakan perpindahan memang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk dapat beradaptasi dengan hal baru. Kalimat yang sering saya dengar, Segala hal berubah kecuali Perubahan itu sendiri. Semua hal banyak berubah, bahkan sejak kita lahir pun, ASI yang kita minum pertama kali, makanan yang dapat memenuhi kebutuhan bayi pun mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Setiap hari, setiap minggu, setiap bulan lalu tiba di saat harus berpindah atau berubah ke MP-ASI perlahan-lahan. Hingga harus makan seperti orang kebanyakan. Setiap hal memang butuh proses untuk berubah. Menurut saya, proses juga bagian dari perubahan. Dan tidak semua orang bisa mengalami perubahan dengan baik atau melewati perpindahan itu dengan baik. Banyak hal yang harus dilakukan dalam tahap adaptasi menghadapi perubahan. Contoh sederhananya, dari SD masuk ke SMP. Yang biasanya, masih bisa lari-lari khas anak kecil, intensitasnya sudah banyak berubah. Sudah mengenal kosa kata Jaim. Sudah mengenal vocab jatuh cinta, walau pun banyak juga anak SD atau TK yang sudah suka dengan teman sepermainannya sendiri, jatuh cinta (monyet).

Bagaimana seseorang menghadapi perubahan dalam hidupnya turut dipengaruhi dan mempengaruhi kedewasaannya. Seorang guru SMA pernah berkata bahwa saya termasuk dalam jajaran ‘korban’ yang dewasa karena keadaan (uhuk! Bangga :D). Bagaimana tidak karena keadaan, kelas 2 SMP saya sudah tinggal jauh dari orang tua saya. Ibarat orang tua saya tinggal di Bogor, sedangkan saya harus tinggal di Bandung untuk tinggal dan bersekolah dengan Bude (kakak dari Papa). Walau pun saya sangat menyadari bukan hanya saya yang mengalami nasib seperti ini karena saya yakin di luar sana lebih banyak anak-anak yang lebih muda dari saya yang harus hidup mandiri karena berbagai alasan.

Perpindahan juga turut hadir dalam fase berpindah saya. Berpindah dari jurusan yang sangat saya inginkan jaman SMA ke cita-cita yang saya inginkan jaman kecil dulu. Bukan hal yang mudah semudah membalikan telapak tangan atau semudah menyeduh kopi dari dispenser air panas. Butuh banyak adaptasi dengan hal baru, tujuan hidup yang baru (beberapa), dasar yang baru (biologi) dan lain-lain. Sampai saat ini yang menyemangati saya adalah orang-orang dalam hidup saya. Mereka semua menyemangati baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam ilmu fisika sendiri, perpindahan diartikan dengan besarnya perubahan jarak per satuan waktu. Maka perpindahan dalam hal kehidupan menurut saya adalah seberapa besar kita dapat mengalami perubahan dalam setiap detik kehidupan. Perpindahan dalam fisika bisa bernilai negatif atau positif. Karena perpindahan sendiri termasuk satuan vektor yang bergantung pada arah bergeraknya. Saya rasa begitu pun dalam kehidupan. Bila kita analogikan titik seperti pindah dari satu barang, misal kemarin saya sempat kehilangan sepatu yang biasa saya pakai untuk kuliah sebagai titik acu. Lalu suatu waktu datang ke toko sepatu yang sama dan menemukan sepatu yang serupa. Akan bernilai negatif bila saya membeli sepatu yang sama. Sebaliknya akan bernilai positif bila saya membeli sepatu yang lain. Kita analogikan begitu saja agar lebih mudah. Dan pada akhirnya saya membeli sepatu yang sama dengan sepatu saya yang hilang. Kenapa? Karena saya ingin saja.

Raditya juga bilang dalam bukunya bahwa dalam perpindahan juga ada saat di mana kita cenderung membandingkan hal baru dengan hal yang lama. Misal, punya pacar baru dibandingkan dengan mantan pacar yang bisa menghasilkan konflik.

Perpindahan bisa berdampak negatif dan bisa berdampak buruk. Dampak buruknya bisa merasa kurang nyaman dengan hal baru, merasa dirugikan (beli buku baru yang ternyata bajakan) dan lain-lain. Dampak baiknya mungkin kita bisa menemukan suasana baru yang ternyata sangat menentramkan hati, menemukan tambatan hati (kalau dapat pacar baru) dkk.

Bagaimana cara yang baik dalam menghadapi perpindahan? Move On sebenar-benarnya bisa dilalui dengan ikhlas, sabar dan syukur. Bahwa mungkin cara terbaik untuk melanjutkan hidup adalah dengan bangun dari tempat kita tidur (kecuali tidur selamanya), bangkit dari tempat kita duduk dan berjalan dari tempat kita berpijak sekarang. Buku yang beberapa hari ini saya baca selain Manusia Setengah Salmon-Raditya Dika, adalah buku-buku Tere-Liye yang juga beberapa membicarakan tentang perpindahan. Bahwa dengan berpindah kita bisa mendapatkan kehidupan yang mungkin lebih baik dari kehidupan yang sekarang kita lalui. Mungkin dengan berpindah, keluar dari zona nyaman, kita bisa mendapatkan sesuatu yang berbeda yang bisa menambah pelajaran dalam hidup daripada hanya bergelung dalam selimut tebal bernama kenyamanan.

Ada seorang teman saya, cukup dekat. Namun, saya dan dia lebih sepakat dengan istilah sahabat tanpa perasaan, karena kita bisa membicarakan apa saja tanpa perlu merasa sakit hati dengan ucapan salah satu dari kita. Dia adalah orang dengan segala macam keanehan dan keunikan tersendiri. Salah satu dari beberapa orang dengan nasib yang sama dengan saya, ditolak ITB. Haha. Tapi kami sepakat tidak pernah pakai perasaan. Dialah pencetus ide “Hidup gak usah pakai perasaan”. Dia juga orang yang saya tahu ingin keluar dari zona nyamannya selama ini. Orang tuanya di Bogor dengan segala hal yang mencukupi kehidupannya. Tapi, dia malah memutuskan ingin tinggal di dekat kampus, tinggal di sebuah kos. Dia sendiri mengakui pada saya ingin merasakan seperti anak rantau lain rasakan, ditelpon untuk menanyakan kabar, makan di kos, pulang ke kos dan hal-hal lain berbau kos. Dan, dia pernah dengan bangganya memamerkan kunci kamar kosnya kepada teman saya yang lain, mengatakan bahwa sekarang hidupnya di sana. Ya, keluar dari zona nyaman alias melakukan perpindahan juga bisa menyenangkan, bukan? 😀

Life To Do!

Tinggalkan komentar