Untuk Perempuan-Sheila on 7

Jangan mengejarnya
Jangan mencarinya
Dia yang kan menemukanmu
Kau mekar di hatinya
Di hari yang tepat

Jangan mengejarku
Jangan mencariku
Aku yang kan menemukanmu
Kau mekar di hatiku
Di hari yang tepat

Reff:
Tidaklah mawar hampiri kumbang
Bukanlah cinta bila kau kejar
Tenanglah tenang dia kan datang
Dan memungutmu ke hatinya yang terdalam

Bahkan dia takkan bertahan tanpamu

Sibukkan harimu

Jangan pikirkanku
Takdir yang kan menuntunku pulang kepadamu
Di hari yang tepat
Reff:
Tidaklah mawar hampiri kumbang
Bukanlah cinta bila kau kejar
Tenanglah tenang aku ‘kan datang
Dan memungutmu ke hatiku yang terdalam

Bahkan ‘ku takkan bertahan tanpamu

Aku yang ‘kan datang (6x)

***

hanya ingin berbagi sedikit tentang lagu yang lumayan sering diputar di play list saya (entah laptop maupun mp3 handphone). Lagu ini cukup mewakili pendapat laki-laki tentang perempuan akan cinta. Bahwa sebaiknya perempuan cukup menunggu karena untuk Indonesia sendiri, yang melamar itu adalah laki-laki. Ya, walau pun ada beberapa adat dari suku yang mengharuskan melamar adalah perempuan, tapi lagu ini representatif untuk kebanyakan adat atau kebiasaan. So, tetap sibukkan harimu dengan hal yang bermanfaat dan hal baik. Keep on smile, girl. Kita juga harus berjuang mencapai mimpi.

Tetap Jaga Hati dan jaga niat. Oya, Jaga mimpi tetap menyala di hati dan pikiranmua ya =D

~Life to DO!!!

Merasa, melihat dan berpikir

Saya tumbuh dan besar dalam lingkungan yang terisolir di pedalaman kalimantan timur. Tidak seperti anak-anak kebanyakan yang hidupnya sejak kecil sudah mengenal komputer, play station, handphone mungkin dan gadget lain yang sedang ngetren di jaman dulu. Mungkin karena keadaan saya tumbuh menjadi anak yang penuh dengan rasa ingin tahu. Saya sering bertanya macam-macam dengan ibu saya. Apa pun mungkin bisa saya tanyakan kepada ibu saya yang sedang menyuapi adik saya makan, ibu saya yang sedang menyetrika baju. Pertanyaan paling besar di masa itu yang masih saya ingat hingga sekarang adalah, kenapa setiap orang tidak bisa merasakan apa yang orang lain rasakan dan pikirkan. Kenapa ketika jadi seorang andi, andi hanya bisa mengetahui tentang andi sendiri dan tidak bisa tahu apa yang orang lain pikirkan dan rasakan. Ibu saya waktu saya menjawab, tetapi saya lupa jawaban beliau.

Beranjak waktu, saya masuk SD dan pindah ke tempat yang lebih baik dari segi akses. Saya menemukan banyak teman yang lebih “gaul” dari pada saya. Ya ya…. saya jadi ingin tahu lebih banyak. Wajar bukan? Kalau bahasa anak sekarang, saya jadi fudul akut. Saya selalu bertanya dan selalu ingin tahu. Sampai suatu hari, teman baik saya mengatakan, “Ih, kamu tau mau tau banget sih urusan orang?!”

JLEBB!!!! Sejak saat itu saya mengurangi intensitas bertanya tentang keadaan orang, kecuali memang sewajarnya. Bisa dibilang kejadian itu menjadi semacam trauma kronis bagi saya. Bahkan hingga detik ini, saya masih teringat kejadian itu dan memberikan banyak dampak bagi saya. Saya menahan diri untuk bertanya kecuali kepada teman-teman yang memang dekat dengan saya. Jika tidak terlalu dekat maka saya memilih diam dan mengamati. Mengamati keadaan seringnya memberikan informasi yang tidak semua orang miliki. Dari sikap, tatapan, cara berbicara, bahasa tubuh dan semuanya bisa menggambarkan apa yang mereka pikirkan dan mereka rasakan. Meski tidak jarang saya menemukan orang yang seperti berbeda luar dan dalam. Benar-benar bisa menyembunyikan segalanya.

Maka saya menjalani kehidupan saya dengan mengamati perilaku orang. Kadang-kadang saya merasa bahwa saya sangat sarkastis dan skeptis. Merasa sarkas karena selalu berpikir bahwa ada motivasi dibalik tindakannya. Dan merasa skeptis karena tidak mampu mengkomunikasikan dengan baik apa yang saya pikirkan dan rasakan. Hanya berdasarkan apa yang saya amati.

Bahkan hingga tadi. Saya tahu, bahwa kedewasaan seseorang ditentukan oleh bagaimana dia berpikir dan bertindak. OKE, anggaplah hari ini tingkat kedewasaan saya sedang menurun dan saya bertindak kekanak-kanakan (atau saya selalu terlihat seperti demikian?). Saya mau makan dan tidak menemukan tempat, kemudian saya pindah ke atas ubin dekat wastafel dan menyender lalu makan di sana dengan kaki bersila. Oke, saya anggap saya kekanak-kanakan karena merasa tersinggung dengan komentar dan tatapan heran teman-teman saya. OKE, saya salah karena langsung pergi dari sana dan mencari tempat yang lebih tenang dan sepi. OKE, saya salah dan saya merasa saya tidak pantas menjadi pemimpin bagi diri sendiri apalagi orang lain. Saya mengamati diri sendiri dan menyimpulkan sendiri dengan skeptis.

Tentang berpikir, mungkin saya terlihat paling tidak banyak pikiran dan paling cuek di antara semua orang. Itu (mungkin) salah. Saya banyak berpikir tapi tidak memperlihatkannya kepada orang (banyak), hanya kepada sedikit orang. Ya, sedikit. kalau boleh jujur *curcol*, saat ini, detik ini juga saya sedang sangat banyak pikiran yang seharusnya tidak dipikirkan karena memang lebih baik dijalani saja tetapi TETAP saja dengan KERAS KEPALAnya saya memikirkan itu semua.

Anyway, ada quote bagus yang saya peroleh hari ini. Terima kasih kepada ALLAH (alhamdulillah) yang telah menemukannya saya dengan orang-orang tersebut (ya semua orang dalam hidup saya). Terima kasih atas kalimat baiknya, dan semoga bisa memberikan motivasi kepada banyak orang =D

…bisa kok, percaya sama ALLAH 🙂

…maksimalkan pencarian kalian

 

~Life to Do!!!

karena hidup begitu berharga dan berarti untuk dilewatkan tanpa suatu karya untuk diri sendiri dan orang lain *ganbatte ne!??

 

Senja di Belakang Punggung

Sekarang hari Kamis tanggal dua puluh lima Oktober tahun dua ribu dua belas….sudah sembilan belas tahun hidup di dunia ini. Sudah belasan ribu mungkin jutaan hal terjadi yang teringat tapi tak teringat. Hari ini, senja ada di belakang punggung, berwarna oranye pucat, tertutup awan kelabu. Bahkan sekarang sudah tidak terlihat.

Senja di belakang punggung, warnanya menyiratkan rahasia yang terlihat tapi tak ingin dibagi. Ya, karena yang namanya rahasia memang bukan untuk dibagi dengan sembarang orang di luar sana. Karena tak ada yang tahu diantara kita mungkin adalah corong masjid, yang bisa membangunkan orang tidur nyenyak karena panggilan shalat atau karena ada berita duka. Karena tidak ada yang tahu hingga semuanya terlambat. Tak ada…hanya Dia di sana…

Senja di belakang punggung… seperti keindahan yang terabaikan, seperti kenangan yang tak ingin dilihat lagi. Sengaja. Karena siapa yang tidak ingin melihat warna senja kemerahan di langit sana menanti kepulangan ke rumah di barat, setelah lelah seharian berputar di atas biru tanpa seorang pun sadar, tanpa seorang pun tahu.

Senja di belakang punggung, mungkin seperti mencintai seseorang. Kita cukup tahu dengan hanya diam dan tenang, sambil menikmati hangatnya yang perlahan menghilang di punggung kita. Tidak usah dipandangi terlalu lama. Kadang-kadang sesuatu yang indah, harus dibiarkan tetap indah dengan hanya memandangi dari jauh, hanya dengan menyadari bahwa itu ada. Ooo, mungkin itu keindahan yang tidak tergapai. Semacam cinta yang tidak sampai. Semacam pungguk merindukan bulan. Semacam menggenggam pasir…semacam mewarnai udara. Semacam menggarami lautan *oke, mulai ngaco*

Senja di belakang punggung, adalah keindahan tersendiri yang tidak perlu diucapkan. Karena memang hanya cukup dilihat dari balik layar LCD, seperti yang tengah saya lakukan. Menikmati senja yang perlahan memudar, karena memang langit Bogor mendung (agak). Senja di balik punggung…rasanya terlalu dangkal hanya dengan mengatakan bahwa itu keindahan. Karena pasti ada kaliat lain yang bisa menggambarkan senja di belakang punggung dengan suasana seperti ini. Saya sedang tidak di puncak, atau tempat tinggi di luar Bogor. Hanya di sini, di kampus, di tempat banyak orang membatukan diri mereka dengan tugas, tertawa, ngobrol, diskusi, rapat, bergosip, merenung, bermain musik, bertengkar, berjualan dan semuanya yang bisa dilakukan dengan kepantasan yang ada.

Senja di belakang punggung… bahkan helaan nafas pun tidak bisa menggambarkannya seperti apa. Bahkan tidak bisa mengimajinasikannya seperti apa. Senja di belakang punggung yang terlihat dari layar LCD mungkin seperti hantu di siang bolong. Yang susah payah kita hindari tetap saja terlihat. Kalau tidak mau terlihat jangan mengarahkan LCD ke senja di sana.

Senja di balik punggung, bulat matanya yang benar-benar pucat dan pudar. Seperti anak-anak kecil yang pemalu, bersembunyi di balik ibunya. Maka senja yang merah adalah anak-anak yang dengan lantang menegur orang yang baru saja mereka kenal, yang menyapa dengan begitu ramah dan penuh persahabatan. Yang jujur sekali. Kalau begitu senja di balik punggung tidak jujur dong? Tidak, senja di balik punggung tetap jujur. Jujur yang tersirat. Kejujuran yang dimaknai dengan kedalaman, bukan sekedar memandang atau mendengar. Tapi merasakan.

Senja di balik punggung, seperti derap langkah kaki yang menjauh. Kita tidak pernah tahu siapa orang yang menyeret langkahnya itu, tanpa menengok ke arahnya. Ya, tidak pernah tahu. Senja di balik punggung adalah keistimewaan yang jarang terjadi, menurut saya. Baru kali ini…dari tempat sebaik ini. Dari tempat semenyenangkan ini.

Senja di balik punggung….

Bagi beberapa orang, sepertinya tidak begitu istimewa. Biasa saja. Datar-datar saja, cenderung monoton. Tapi, kalau sekarang anda di sini, berada pada teropong saya, anda bisa melihat bahwa sekarang senja di balik punggung itu memerah dan menunjukkan bentuknya. Ia seperti seorang yang memendam banyak rahasia lama sendirian lalu ditumpahkan. Memang tidak setumpah senja di banyak pantai yang banyak manusia terhampar tanpa busana lengkap. Tidak setumpah itu, tapi cukup bagi saya melihat dari layar LCD bahwa ia indah…karena sekarang ia hilang lagi…

Tidak ada yang terlihat istimewa, semua tampak biasa saja. Maka bagi saya, senja di balik punggung kali ini istimewa. Karena saya menggunakan kacamata saya, bahwa senja di balik punggung yang mungkin terlihat labil (karena tebalnya awan senja sekarang), bisa menarik.

 

~life to DO!!!!

Perjalanan dan Rumah

Rumah adalah tempat yang paling nyaman, dalam arti sebenarnya nyaman dan menyenangkan. Rumah adalah tempat berpulang. Anggaplah hidup ini adalah sebuah perjalanan panjang dari satu titik ke titik akhir, dimana titik akhir tersebut adalah rumah itu sendiri. Rumah yang masih kita cari alamatnya, rupanya seperti apa dan melalui perjalanan panjang untuk menemukan rumah yang sesuai dengan kita. Perjalanan panjang pasti membutuhkan banyak waktu, banyak biaya dan pasti akan ada beberapa stasiun atau terminal dimana kita harus berhenti untuk sekedar beristirahat lalu melanjutkan perjalanan kembali.

Di sepanjang jalan, bukan tidak mungkin kita menemukan rumah yang menarik hati. Terlihat dari luarnya nyaman dan bagus, beratap kuat dan tidak bocor, bertiang teguh dan berjendela besar sehingga banyak cahaya serta udara bisa masuk. Rumah yang begitu menarik bukan? Yang mampu menarik hati kita untuk berhenti, sekedar melihat-lihat, intinya apa pun itu yang bisa membuat kita tidak lagi lurus berjalan.

Saat berhenti pada suatu di rumah dalam perjalanan, dan memutuskan untuk tinggal di dalamnya mungkin kita harus siap kecewa dengan ketidakpastian dari rumah itu. Beberapa hal yang nampak tersembunyi dengan kebagusan rumah itu dari luar, kemegahan rumah itu dari jauh dan kokohnya rumah itu. Mungkin kita bisa saja kecewa. Atau mungkin kita bisa saja merasa telah menemukan rumah yang kita tuju. Untuk yang kedua, kita mungkin sudah selesai. Lalu, bagaimana dengan yang pertama? Maka kita harus bersiap pindah. Mengepak semua barang-barang yang sudah kita keluarkan, membawa kembali apa yang menjadi bekal kita dan merapikan diri untuk melanjutkan perjalanan. Selain barang, ada satu yang tidak lupa untuk dibawa. Hati. Hal yang terlihat sederhana dan remeh, tapi nyatanya banyak masalah timbul dari sana.

Membawa hati kita yang mungkin telah berada di rumah itu adalah tantangan tersendiri. Maka banyak energi untuk membawanya kembali ke perjalanan panjang. Untuk kembali berjalan, terkadang first step begitu sulit dilaksanakan. Dan kadang saat sudah berjalan beberapa langkah ke depan, kita mungkin sesekali melihat ke belakang. Ke rumah yang pernah kita singgahi. Ke rumah yang pernah ada dalam memori kita.

Perjalanan panjang di mulai kembali dengan membawa perbekalan yang sudah berkurang. Waktu juga sudah banyak terlewati. Mungkin kita jadi trauma untuk meneruskan perjalanan kita. Mungkin kita jadi enggan, padahal salah satu tujuan perjalanan ini selain belajar dari kehidupan adalah menemukan rumah untuk mengaplikasikan lebih banyak hasil belajar tersebut. Apa daya, kaki terus memaksa kita untuk melangkah maju, meneruskan apa yang harusnya diselesaikan.

Walau mungkin akhirnya belum pasti. Dari kehidupan itu kita bisa belajar bagaimana menemukan rumah yang kita idam-idamkan. Bisa dengan bertanya pada tetangga sekitar rumah tersebut, bisa dengan bertanya pada pak RT. Ada banyak cara-cara baik yang bisa digunakan. Tenang saja. Semoga hal ini bisa menenangkan bagi yang masih mencari rumah. Kalau belum ketemu juga bagaimana? Ya, teruskan perjalanan hingga time is up. Hingga waktu habis. Mungkin jika tidak bisa ketemu rumah dalam perjalanan ini, ada rumah yang sudah menanti kita di perjalanan setelah perjalanan ini.