Galau Penelitian

Pagi-pagi ngegalau? Salah, yang bener dari beberapa hari bahkan dari minggu lalu udah galau, galau sama topik penelitian. Pfft, berasa anak tingkat akhir banget yak? padahal mah masih muda begini *ngaca*

oke, menurut versi Riana Pangestu Utami galau ini adalah galau versi keren nomor satu. Kenapa? Kalau galau aktivis seperti galau antara rapat atau seminar, atau datang rapat yang mana ya, itu kan biasa. Nah, kalau galau penelitian ini bisa bikin seorang Riana galau berhari-hari dan jadi malas makan *ngarep*.

Sebenarnya untuk menemukan topik penelitian itu mudah, yang sulit adalah menemukan topik penelitian yang benar-benar seattle di hati *galau beneran*Kemarin sampai ditelepon sama orang rumah gara-gara sms pengen penelitian di pedalaman Kalimantan, pengen neliti tentang suku Dayak, bagaimana mereka hidup di pedalaman kalimantan, bagaimana dengan kecukupan gizi mereka, pengetahuan gizi mereka dan lain-lain. Saya penasaran sekali. Karena sepertinya penelitian gizi tentang suku-suku di pedalaman masih sedikit. Sebenarnya juga karena terinspirasi dengan penelitian dosen yang pernah meneliti di suku Baduy dan beliau bercerita bagaimana keadaan saat meneliti. Dimana kita tidak boleh tinggal di sana lebih dari 2 malam. Jika ingin tinggal lebih lama maka boleh turun atau keluar lalu kembali lagi.

Kembali ke kekhawatiran orang rumah. Mereka menginterogasi dan menanyakan kenapa saya ingin meneliti di pedalaman. ya, saya bilang karena tertarik dan ingin saja. Aneh? mungkin for some people. Tapi buat saya tidak. Karena saya tertarik. Sesimpel itu saja. walaupun mungkin untuk orang rumah dan orang lain, pilihan penelitian ini tidak sederhana. Tenang, saya belum jadi kok. Saya sih semangat, tapi kalau gak dapat restu kan bingung juga. Lebih enak lagi kalau gerebekan sama teman. Like “kekuatan gerombolan” di postingan sebelumnya. Baca deh *promosi*

Sekarang sedang melirik penelitian di lab. Nah, kan galau saya. Hahaha…pasti anak-anak ngomel-ngomel kalau tau dan komen begini :

Kan lu kemarin pede banget milih lapang, lagian MK SC yang lu ambil kan sosial banget, macam pengembangan masyarakat, komunikasi bisnis dan sekarang pengelolaan kolaboratif sumber daya alam….”

 

Dan tunggu saja komentar saya, cuek, diem dan gak peduli. Masalah suku-suku di pedalaman entah kenapa sejak kecil membuat saya tertarik dan tiba-tiba bersemangat. Tapi langsung surut karena mencari referensi dari jurnal dan skripsi tentang suku Dayak cukup sulit. Benar-benar membuat galau.  akhirnya saya memutuskan penelitian di lab saja. Saya pikir kalau saya ingin meneliti masyarakat, kenapa tidak langsung sekalian masuk ke pedalaman dan kalau mau penelitian di lab, sekalian lab saja *agak ekstrim*

Intinya topik penelitian apa pun itu harapannya bisa bermnafaat bagi masyarakat untuk memajukan status gizi di Indonesia *bijak*

#Lifetodo

Already Twenty

*Postingan ini adalah salah satu pembalasan dendam karena beberapa hari kemarin udah buka page add New Post tapi ujung-ujungnya gak nulis apa pun. Nyampah banget kan? Gak kok. Emang kemarin lagi mati gaya. Haha. Oke, gak penting.

Alhamdulillah udah 20 tahun (penting gak sih?). Ingin bersyukur aja masih diberi kesempatan di usia 20 tahun 7 hari dan beberapa jam. Agak sedih karena masih begini-begini aja gak ada yang lebih baik dalam kapasitas luar biasa. Ngerasa merugi banget. Buat yang baca postingan ini *kalau ada, kalau gak ada gak papa* semoga hari-hari kalian setiap harinya lebih luar biasa lagi ya (dalam arti harfiah bukan tanda kutip).

Sampai tanggal 25 kemarin masih ada yang ngucapin met milad secara langsung dan rata-rata mengatakan bahwa “Lu beneran baru 20 tahun, Rin?” (-__-). Plis, masih banyak masalah hidup dan negara yang menarik untuk dibahas dan dicarikan solusinya daripada hanya membahas usia saya apakah benar baru 20 tahun atau 21 tahun.

Yeah, Already twenty. Di hari H tambah usia saya secara nominal dan berkurang secara jam pasir kehidupan, saya iseng tanya ke seorang sahabat yang sering saya panggil teteh.

Teh gimana sih rasanya 20 tahun?”

“Emang kenapa? Aku sih ngerasanya biasa aja, Ri.”

“Iya sih, tapi berasanya beda aja. kalau perempuan kan rata-rata nikah di usia 20 -an. Jadi ngerasa gimana gitu….”

“Gak papa kok, Ri,” Terus si teteh senyum dan puk-puk pundak saya.

Kalau ingat banyak cewek-cewek jaman dulu yang nikah di usia yang sangat muda, maka saya sangat bersyukur bahwa saya bukan hidup di masa tersebut. Apalagi waktu baca komik tentang kerajaan di Eropa yang menceritakan bahwa anak-anak raja alias puteri kerajaan dinikahkan pada usia belasan tahun. Oh, No. Itu masa-masa saya masih main-main, masa-masa saya lagi memuaskan diri dengan baca buku, komik, nonton, jalan-jalan dan manja-manja sama keluarga. Alhamdulillah I am Me 😀

Already twenty, gak akan memberi pengaruh apa-apa kalau aja akhir-akhir ini tidak mendengar anak-anak di kelas ada yang udah ngebet nikah atau mendengar dari teman-teman bahwa di usia saya banyak yang sudah berkeluarga. Gak masalah menurut saya (yakin?). Ya, gak masalah karena menikah kan perbuatan mulia, menggenapkan setengah dien, setengah agama. Dimana kalau perempuan, mereka (termasuk saya nantinya) dibeli bukan di hadapan orang tua, tapi langsung di hadapan Dia Yang Maha Memiliki Segalanya. Mungkin bukan semacam perasaan serem, tapi lebih kepada saya sadar saya belum punya keberanian yang sangat besar seperti teman-teman seusia saya yang telah memutuskan menikah bahkan telah menikah dan memiliki keluarga. Salut sama mereka, bisa menentukan jalan hidup yang begitu…. (gue bingung bro deskripsikannya).

Already twenty. yeah, baru saja berusia 20 tahun alias kepala dua. Harusnya bisa lebih dewasa kan, gak boleh cengeng lagi *ah jadi ingat ayah*, gak boleh galau lagi (masih, galau penelitian), peragu (I’m trying not be) dan lan-lain.

Kekuatan Gerombolan

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial a.k.a. tidak bisa hidup sendiri. Dengan kata lain, butuh orang lain untuk dapat hidup dengan baik dan benar. Maka dengan dasar pernyataan itu, saya sedikit ingin beropini tentang kekuatan gerombolan yang berasal dari pernyataan “Manusia adalah makhluk sosial” itu.

Sejak kita SD atau bahkan TK mungkin sudah mengenal dengan istilah geng atau kalau jaman saya mah “temenan sama si anu” dan sebagainya. Sekecil itu saja sudah bisa mempraktikkan judul dari postingan ini. Ya, kekuatan gerombolan. Ketika kecil, jaman saya SD *kalau gak lupa* pernah (atau malah sering?) ada teman yang berantem dengan teman yang lainnya, entah ada masalah apa. Yang pasti si A (yang marah) mengatakan kepada teman-temannya yang lain bahwa dia sedang marah kepada si B (yang menyebabkan si A marah) dan akan mengatakan kalimat yang berbunyi kurang lebih demikian : “Eh, aku lagi gak temenan sama si B lho, habis dia bla-bla….”

Tapi yang anehnya adalah si A dan si B yang hari ini berantem dan berasa musuh abadi bangsa negara *halah* besoknya malah berangkulan akrab, berasa gak ada apa-apa. Polos banget? Ya, mungkin itu yang sekarang banyak dirindukan orang-orang, termasuk saya. Kembali ke soal gerombolan. Kebanyakan orang akan merasa aman dan nyaman ketika berada dalam gerombolannya, kaya kerbau atau hewan yang tinggal dengan cara koloni alias bermasyarakat. Ketika jauh dari golongan yang biasa bersama kita, maka akan terasa aneh, merasa frustasi, merasa lemah dan merasa bukan apa-apa. That’s why banyak dari kita yang kemudian akan mengajak teman ketika pergi kemana atau ketika sedang makan (plis gak enak kali main ke tempat ngegahol sendirian, berasa anak ilang *pengalaman soalnya*).

saya juga belum begitu paham mengenai kekuatan gerombolan. Mungkin orang merasa kuat dan berkuasa ketika bergerombolan adalah sebagai bagian dari efek psikologis. Kalau ada yang tiba-tiba nyerang misalnya, kan kemungkinan kecil untuk langsung kalah saat bergerombol dibanding alone ala-ala anak ilang. Tapi kadang-kadang menyendiri itu dibutuhkan kok *Ah, OOT lagi nih. Maaf yak*

saya juga termasuk yang suka bergerombol, sometimes. Sometimes juga butuh kesendirian. Karena ada beberapa hal yang tidak dipikirkan dan menurut saya tidak baik untuk dipikirkan saat sedang bersama orang lain. Takutnya apa yang kita pikirkan berpengaruh pada ekspresi wajah kita dan berpengaruh pula pada gerombolan di luar diri kita. Ah, hukum sosial. Entah kenapa menyenangkan belajar mengenai sosial, padahal saya masih galau soal penelitian. Bingung? Maksudnya, kalau saya benar-benar suka sama hal-hal sosial, seharusnya penelitian saya langsung akan mengarah ke sosial alias lapang tanpa perlu kegalauan hingga detik ini *curhat lagi*

Karena saya tidak terlalu suka sejarah, hanya suka baca, saya tidak tahu pasti apakah semua penjajah di dunia ini datang ke negara jajahannya secara bergerombol. Setau saya, memang banyak kalimat yang menyarankan kita untuk berkelompok dan melakukan perubahan. Ya, karena perubahan yang dilakukan berkelompok lebih kuat dibanding dengan perubahan yang dilakukan seorang diri. Analoginya macam sapu lidi dan lidi. Yang bergerombol itu sapu lidi, sementara yang sendirian itu batangan lidi. Ah, memang. Bergerombol itu seringnya menghasilkan kekuatan.

~Life to Do!

Tahan Pangan??

Sebenarnya ini semacam brainstorming untuk diri saya pribadi. Lagi nyari ide untuk suatu kegiatan, tapi beneran mentok sampe buntu dan hampir putus asa. Eh, gak boleh deng. Harus selalu optimis BISA!

Sebenarnya tema ketahanan pangan adalah tema yang menurut saya super subhanallah sekali. NGurusin makanan orang satu keluarga aja rumit apalagi ngurusinnya satu negara, macam Indonesia Raya yang saya lupa ada berapa juta keluarga alias berjuta-juta orang di dalamnya. Plis, it doesn’t simple as much as kalian makan nasi dengan tempe dengan sayur dan telur goreng. Gak, gak segampang itu. Karena banyak sekali faktor di dalamnya yang turut mengganggu atau sebaliknya, turut mendukung si ketahanan pangan ini.

Miris waktu baca buku yang dipinjam dari teman soal ketahanan pangan. Dari buku itu dikupas, gimana kehidupan petani. Mereka emang nanam padi, itu bener. Tapi mereka malah gak menikmati hasil berpeluh-peluh mereka atau hasil berurat-urat mereka. Karena apa? karena hasil panen itu mereka jual dan mereka belikan makanan untuk mereka konsumsi. Miris? Iya, SANGAT! Karena disini muncul ironisme *apadeh* bagi petani.

Mereka yang mengusahakan kita untuk tetap makan, mereka yang berlelah-lelah tapi bukan mereka yang menjadi sejahtera karena usaha mereka. Ibarat lilin. Dari gambaran di atas memang belum bisa ditentukan apakah kita sudah tahan pangan atau belum. Tapi kalau memang kita peduli, kita pasti sering mendengar “impor daging” atau “impor beras”. Kalau dipertanyakan ada apakah? Apakah kita belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri secara swadaya sehingga kudu minta dari luar? Mungkin IYA, karena impor ini terjadi sudah lamaaaa sekali dan belum berhenti hingga saat ini. YA, mungkin kalau impor dihentikan akan lebih banyak lagi anak-anak marasmus atau kwasiorkor di negeri ini. Atau tidak ada pengaruhnya? karena kita sebenarnya punya banyak potensi di dalam negeri?

Katanya Indonesia KAYA, punya sagu, punya singkong, punya ubi (yayayaya, walau pun mungkin bukan asli varietas Indonesia. Gak papa toh?) tapi kenapa kita masih ketergantungan sama beras? Emang sih saya juga termasuk dalam golongan ornag-orang yang bermindset-kan “belum makan kalau belum makan nasi”. Tapi apa kita bakal selamanya gini-gini aja? Ya, emang sih ada diversifikasi makanan dan kawan-kawannya. Terus?

Terus kalau kita udah punya stok yang cukup untuk satu negara emang semuanya bakal bisa langsung makan? kan ada yang namanya distribusi dan distribusi butuh biaya dan sebagian besar penduduk di negara ini kurang mampu mengaksesnya. Terus mau disubsidi? Kalau nanti ada spekulan yang ikutan antrian subsidi gimana? terus ada yang nimbun gimana? Terus juga gimana sama yang ada di pedalaman sono? Yang kalau mau kemana-mana susah karena jalannya rusak berbatu, berbecek-becek atau kalau agak mendingan sih jalannya berlubang? So? Katanya tahan pangan itu kalau ada pangan untuk semua orang dan ada akses secara fisik dan ekonomi untuk itu. So? Kita udah tahan pangan atau belum? Kayanya kita perlu mengkaji ini deh =)

~Life To Do

Sumber :

1. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009, Dewan Ketahanan Pangan. Jurnal Gizi dan Pangan. 2006

2. Pangan, dari Penindasan sampai ke Ketahanan Pangan. Susan George. 2007

Ini tentang Masa Depan…

Saya baru sadar, judul di atas agak sedikit absurd. Orang kalau cuma sekilas membaca postingan ini sampai habis juga pasti ngiranya saya galau atau apalah. Terserah. Biar mereka penasaran dan baca sampai habis *modus*

Ini tentang Masa Depan, ya masa depan penelitian saya. FYI, saya udah semester 6 dan di pertengahan tahun ini insyaALLAH KKP. Belum tau akan ditugaskan kemana, tapi saya pribadi sudah punya keinginan : Kalimantan Selatan atau Natuna (kalau tahun ini jadi) atau ke Nusa Kambangan. Semester 8 nanti, insyaALLAH ID di rumah sakit. Makin lama makin berubah. Makin lama makin terasa kalau kita bukan sembarang mahasiswa. Kita, mahasiswa gizi adalah calon orang-orang yang akan mengurusi hajat hidup orang sakit, hajat hidup orang yang ingin sehat, hajat hidup orang sehat dan lain-lain. KIta mengurusi makanan orang, asupan orang, kesehatan orang. Itu yang terpikir dalam diri saya beberapa waktu kebelakang dan mungkin juga akan terus terpikir beberapa waktu ke depan.

Amanah ini bukan amanah sederhana. Rumit sekali menurut saya. Tapi saya yakin, setiap orang itu unik, makanya punya “tugas” masing-masing. Punya tantangan masing-masing. Dan tantangan saya sekarang adalah masa depan. Mau kemana saya setelah ini. Itu yang jadi pertanyaan dengan diri saya sendiri. Mau jadi peneliti di laboratoriumkah, atau terjun langsung ke masyarakat. Ya, diantara dua pilihan itu. Kemarin sih, udah yakin sekali ingin terjun langsung ke masyarakat. Entah sebab apa, jadi galau lagi. Gak, papa lah. Kali ini galau yang membanggakan, galau cita-cita. Tapi semoga tidak terlalu lama.

Mata Kuliah Metode Penelitian Gizi diambil di semester ini, yang dari niat mulianya adalah membantu mahasiswa membuat satu proposal untuk penelitian. Penelitian apa pun itu, tentunya harus bisa membantu hajat hidup orang banyak, kan? Mau lapang atau lab, tentunya bisa membantu menyelesaikan permasalahan yang ada, kan?

Jadi ingat masa-masa semester lalu, belajar Penilaian Status Gizi, dan saat itu belajar PSG klinis. Yang dibaca dan dipantengin itu foto-foto anak kwasiorkor (kurang protein), yang badannya odem tapi tangan dan kakinya kurus banget. Terus yang marasmus (kurang energi), yang wajahnya moon face (kaya orang tua) dan lain-lain. Baca itu nangis aja. Tiba-tiba ngalir air mata. Sedih. Miris. Bingung. Terus ada yang tiba-tiba ngomong dalam diri sendiri, seolah menasehati :

“Itu tuh yang butuh bantuan kamu, masih banyak lho di Indonesia yang seperti itu”

atau gak yang paling nyelekit :

“This is why kamu di jalan ini. Jangan sok-sok ngasihani diri sendiri karena gak dapat passion kamu, deh. Jangan iri sama orang lain. Tuh, lihat kamu nangis. Itu karena kamu punya keinginan tentang mereka….karena mereka butuh kamu”

Ya, terima kasih untuk MK PSG yang dengan sukses membuat saya menangis karena foto-fotonya. Bukan, bukan itu intinya. Yang pasti, di masa depan harus ada yang menolong mereka. Kalau bukan saya, mungkin anda. Kalau bukan saya, itu mungkin harusnya saya *apasih*

marasmus

~Life to Do

Politik? Siapa takut!

Banyak orang yang gak mau ngomongin soal politik, beberapa malah menganggap tabu. Plis, ini jaman modern. Orang gak akan tiba-tiba kena musibah apa hanya karena membicarakan tentang politik. Kasarnya sih gitu. Gampangnya, kenapa harus takut membicarakan tentang politik. Kemajuan teknologi sekarang ini bisa bikin kita tahu banyak hal hanya dengan menggerakan satu ujung jari *halah*, termasuk politik. Contohnya, kalau mau tau perkembangan kasus impor daging atau kasus hambalang yang kagak kelar-kelar itu tinggal klik aja keywordnya di search engine. Keluar deh. Habis itu baca dengan baik dan benar. Yang dimaksud dengan baik dan benar di sini adalah lebih kepada objektif, jangan asal komen kaya penonton bola. Penonton bola mah kebanyakan komentarnya padahal kalau si penonton disuruh main bola ngejar-ngejar bola juga pasti lebih ngos-ngosan daripada yang ditonton, kan?

Kenapa sih orang sering sekali mengidentikkan politik dengan kata “busuk” atau “Kotor” atau mungkin yang marak sekarang ini adalah “korupsi”? Ya, mungkin karena berita yang sekarang beredar tentang politik seringnya berembel-embel dengan korupsi yang dilakukan pejabat, mark-up dana-dana atau apa pun itu yang diatas-namakan kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Hei, politik gak seburuk itu kali. Kata seorang senior, Politik itu adalah sebuah cara. Cara untuk memperoleh tujuan. Selama ini yang kita lihat, politik itu busuk, kotor karena subjek yang memanfaatkan politik ya memang orang yang demikian. Kalau memang mau membenci atau mencaci, bencilah atau cacilah pelakunya, bukan objek yang digunakan. Objek kan hanya benda mati,ibarat boneka.

Simpelnya, kenapa kita gak boleh takut, dan menurut saya kita lebih baik peduli dan mau belajar politik, supaya orang-orang baiklah yang menjadi subjek dari politik itu. Supaya orang-orang baiklah yang memegang tampuk kekuasaan itu, agar yang namanya KKN itu setidaknya berkurang perlahan-lahan di negara ini. Orang-orang yang baik itu yang bagaimana? Orang-orang yang pengertian terhadap kehidupannya baik, yang paham bahwa jabatan yang dipegangnya itu bukan sembarang jabatan. Orang-orang yang bisa benar-benar bertanggung jawab dan mau berkontribusi untuk kemajuan negara.

Miris sih, waktu tau dan denger banyak dari teman-teman yang tidak mau tau tentang urusan politik. Ya, itu memang pilihan masing-masing orang. Saya tidak punya hak apa pun untuk ikut campur di dalamnya. Tapi, sama siapa lagi negara ini berharap kalau bukan sama orang-orang mudah yang “katanya” generasi penerus bangsa, yang katanya “agen perubahan”, yang katanya calon pemimpin. Kalau aja negara yang kita hidup di dalamnya sejak bertahun-tahun, makan dari tanahnya, hidup di bawah langitnya, menghirup udara di dalamnya, bernaung di bawah teduhnya…kalau aja negara ini bisa bicara kaya seorang manusia, saya jadi ingin tahu komentar dia tentang kita….

~Life to Do!

Pergeseran Hobi

Kata orang hobi adalah sesuatu yang senang dilakukan saat waktu luang atau mungkin waktu-waktu lainnya. Yang pasti, dipostingan ini saya tidak akan banyak membahas definisi hobi dan segala macamnya, hanya akan berbagi sedikit cerita tentang pergeseran hobi. Itu kisah siapa? Ehem, itu saya.

Jaman SD dulu dimana waktu luang sangaaaaaaaat banyak sekali karena memang waktu di sekolah lebih sedikit dibanding jaman ngampus (ya iyalah), sebagian besar anak-anak menghabiskan masa tersebut dengan bermain. Ya, bermain apa saja dan di mana saja. Contohnya yang sederhana adalah main masak-masakan di teras depan rumah atau main ibu-ibuan di dalam rumah. Yeah, you know that anak kecil adalah makhluk ciptaan Allah paling jujur yang pernah ada. Apa yang ia serap dan ia dengar itu pula yang ia praktikkan sehari-harinya.

Dimanakah saya ketika masa itu? Of course saya juga ikutan main dengan teman-teman sebaya saya. Main karet, main masak-masakan (lupa udah berapa banyak kaleng susu yang dibolongin demi ngerebus daun jenis apa pun itu. haha), main petak umpet, main kasti (seringnya lari ketakutan dilempar bola) dan lain-lain. Ya, saya ikutan main. Setelah adanya ultimatum dan teguran keras dari Bunda tentunya. Mungkin beliau terlalu khawatir dengan kondisi anak perempuannya yang terlalu suka baca buku saat itu. Majalah Bobo yang di tempat saya memang langka, dan harus bersabar karena susah aksesnya (maklum daerah terpencil), majalah Hidayah langganan Bunda (yang banyak gambar-gambar orang diadzab dkk) sampai koran langganan Papa.

Saya suka sekali baca buku, sama sukanya ketika saya diminta jalan-jalan ke pantai. Itu dulu. Setidaknya sampai SMA. Dan sekarang saya takjub sekaligus miris sekaligus bingung, how activity can change person’s like too much. Saya masih suka buku sekarang. Suka beli dan suka baca. Haha…Tapi untuk melakukan aktivitas baca buku seperti dulu, rasanya sekarang sulit sekali. Untuk menyelesaikan bacaan yang sudah ada saja sulit sekali. Akhirnya banyak buku yang baru kelar setengah dibaca, nanggung dan berhenti. Tidak selesai. Miris sekali, bukan? Sekarang hobi saya malah lebih mengarah kepada penikmat film dan musik. Mungkin karena lebih mudah dan memang ada pengaruh lingkungan. Kalau buku, harus benar-benar menemukan waktu khusus dan tempat yang tenang.

Menyadari pergeseran ini, saya berusaha berjalan ke arah sebaliknya, dimana saya berusaha sekuat tenaga meluangkan waktu untuk membaca. Ya, walau pun bukan dalam bentuk buku aslinya, setidaknya membaca lewat internet pun lumayan kan? Terus bagaimana dengan hobi baru? Wah, karena memang menemukan teman-teman yang sama-sama suka film, jadilah hobi tersebut berkembang sedemikian rupa sehingga satu hari kosong tanpa agenda bisa saya habiskan dengan 2 atau 3 film berdurasi masing-masing rata-rata 2 jam. Gak percaya? Saya juga gak percaya kalau tidak mengalami langsung. Melewati waktu dengan tontonan yang diusahakan bermutu. Tantangan banget kan?

~Life to Do

Perasaan si Pecundang (Kisah si Dinding)

 

            Mungkin ini tepatnya, yang dirasakan oleh seorang pecundang. Orang yang merasa tidak mampu melakukan apa pun dengan baik dan benar. Mungkin begini rasanya. Entahlah, apa benar ini rasanya. Apa benar begini definisinya. Saya juga tidak terlalu paham.

Rasanya dunia terlalu luas untuk seorang pecundang. Ia tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dia tidak mengerti, sungguh. Dia bingung apa yang harus dilakukan, apa yang disukai, karena rasanya semua mengudara dalam warna abu-abu. Semuanya serba sama dan tidak ada warna pastel atau warna gelap, warna terang atau warna belang-belang. Semua sama saja.

Tidak ada yang benar-benar ia inginkan di dunia ini. parah bukan? Menyedihkan? Aku pikir juga demikian. Hahaha….

Merasa diri begitu kecil dan sempit karena selalu melihat kepada orang lain, hanya melihat orang lain. Menganggap bahwa diri sendiri tidak bisa apa dan tidak mau melakukan apa pun kecuali diperintahkan. Merasa kecil karena nampaknya orang-orang di sekitarnya melakukan banyak hal besar dan begitu baik. Merasa tidak mampu melakukan apa pun kecuali hal yang biasa-biasa saja. Dan yang lebih menyedihkan adalah : tidak mau dan tidak mampu berbagi dengan siapa pun tentang ketidakmampuan ini. Menyedihkan, bukan? Rasanya Ya.

Kenapa merasa pecundang? Karena ketika yang lain menikmati peran mereka di atas panggung kehidupan, kenapa dia hanya nyaman saja menjadi penonton yang baik? Bukan, bukannya menyalahkan perannya yang harus menjadi penonton. Tapi kan tidak selamanya penonton adalah penonton. Kadang-kadang penonton juga memiliki kemauan.

Pecundang satu itu rasanya dia hanya mau berjalan di jalan yang nyaman dan aman. Tidak bersedia bangkit dan keluar dari zona nyamannya. Karena rasanya selimut tebal, bantal dan kasur yang empuk begitu memikat, begitu melekat dalam dirinya. Ketika bahkan sebagian besar orang sudah pergi ke ujung dunia, untuk melihat dunia, dia masih terlalu nyaman dengan dirinya sendiri. Masih begitu sibuk dengan urusan sepele yang remeh temeh. Entahlah. Dinding rumahnya pun bingung bagaimana harus berkomentar.

Ketika banyak orang memiliki cita-cita yang tinggi, kuat dan besar, dia hanya nyaman dengan menjadi kecil dan lemah. Dia hanya nyaman dengan apa yang sudah ada, tidak berniat menambah dan berubah. Seolah pecinta status quo sejati. Menyedihkan sekali bukan? Sangat menyedihkan menurutku. Aku yang seorang dinding yang hanya bisa memperhatikan pun rasanya ingin marah-marah kepadanya. Ingin berkomentar dan menyuruhnya berubah, bergerak dan bercita-cita.

Hei, dengan kemampuanmu yang baik dan bagus, dengan tubuh yang masih muda, usia yang seolah mutiara dari laut, begitu berkilau kenapa hanya kau tutupi dengan masa-masa yang suram? Hanya kau isi dengan hal-hal sepele, dengan keinginan yang terlalu sederhana. Hei… kau tau, kalau ada 10 saja yang mudanya sepertimu dan cerdasnya sepertimu, tapi dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, kurasa tidak ada lagi di negara ini yang perutnya membuncit tapi sorot mata mereka kesakitan. Tidak ada lagi yang punya benjolan besar di bawah dagu mereka, tidak ada lagi yang meninggal di pinggir jalan tanpa tahu namanya siapa. Tidak akan ada lagi yang menadahkan kedua tangannya di pinggir rel kereta pagi dan petang. Tidak ada….

 

Divortiare by Ika Natasha (a Review)

Tumben banget kan, setelah sekian lama tidak mengkonsumsi buku-buku teenlit atau chicklit, tiba-tiba pengen banget dari jaman sebelum libur sampe libur mau kelar. Eh, akhirnya buku ini kebeli juga, di jogja. Kalau saya lihat, ini memang buku chicklit, karena ceritanya banyak ngebahas tentang kota metropolitan dan gaya hidupnya yang hedonistik juga padat merayap karena kerja kantoran.

Sedikit sinopsis dari buku ini :

Commitment is a funny thing, you know? It’s almost like getting a tattoo. You think and you think and you think and you think before you get one. And once you get one, it sticks to you hard and deep.

Pernah nonton Red Dragon? Aku masih ingat satu adegan saat Hannibal Lecter yang diperankan Anthony Hopkins melihat bekas luka peluru di dada detektif Will Graham (Edward Norton) dan berkata, “Our scar has a way to remind us that the past is real.”

Alexandra, 27 tahun, workaholic banker penikmat hidup yang seharusnya punya masa depan cerah. Harusnya. Sampai ia bercerai dan merasa dirinya damaged good. Percaya bahwa kita hanya bisa disakiti oleh orang yang kita cintai, jadi membenci selalu jadi pilihan yang benar.

Little did she know that fate has a way of changing just when she doesn’t want it to.

Kalau saya pribadi berpikir bahwa judul Divortiare ini berasal dari kata Divorce alias Bercerai. Kenapa saya berpikir demikian? karena almost (apa malah semua) judul bab dalam novel ini pakai bahasa latin atau apa saya juga kurang paham *hehe*. Untuk sebuah novel chicklit ini bagus kok. Banyak membahas tentang pandangan terhadap wanita yang sudah bercerai yang cenderung mendapat tekanan dari orang tua dan pandangan negatif dari banyak orang. And I know that Janda Kembang itu merupakan sebuah konotasi (mungkin ambigu mungkin tidak, entahlah) dari novel ini dan sebaliknya Duda Keren itu adalah sebuah makna denotasi (If you know what I mean).

Agak berat? Gaklah. Buat saya yang bahkan belum menginjak jenjang pernikahan (halah), membaca novel ini kaya nonton film aja. Seru, diksinya renyah dan banyak yang bisa dipelajari dari sini. Apa aja? Baca sendiri deh. Gak seru kalau saya ceritakan di sini. Hahaha…baca buku itu sama kaya nonton film.Harus dihabisin sendirian (biar gak penasaran maksudnya). Ending ceritanya juga gak keduga, jadi makin seru dan feeling lost something waktu ngelarin baca nih novel (halah).

Oya, katanya ada karya lainnya Ika Natasha, like A very yuppy Wedding, Antologi Rasa sama Twivortiare. Pengen sih baca yang lain, tapi siapa ya yang ikhlas minjemin??? *lagi nyari orang*

~life to Do!!

Perbedaan #2

“Kau tidak akan pernah memahami seseorang hingga kau melihat sesuatu dari sudut andangnya…hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya”

Harper Lee dalam To Kill a Mockingbird)

Mungkin tulisan di atas bisa menjawab banyak hal dari pertanyaan saya sejak kecil. Seperti pada posting sebelumnya yang berjudul “Merasa, Berpikir dan Melihat” (ya itulah), dari kecil saya sering bertanya kenapa kita tidak bisa merasakan apa yang orang lain rasakan. Saya hanya bisa merasakan apa yang ada dalam diri saya, saya hanya bisa melihat apa yang terlihat dalam mata saya dan berpikir dengan cara saya, bukan dari kacamata orang lain. Bukan dari perasaan dan tangan orang lain, atau juga hati orang lain.

Ya, kita memang tidak bisa menjadi orang lain, dan sebaliknya. Saya tidak akan bisa menjadi seperti sahabat saya yang selalu memeluk teman (yang sama-sama perempuan pastinya) kalau bertemu atau berpisah. Saya tidak akan bisa menjadi seperti sahabat saya yang lainnya yang hidupnya rapi bin tersusun seperti susunan buku di perpustakaan LSI. Tidak. Saya adalah saya. Tapi saya bisa (sedikit) memahami apa yang dia rasakan atau mungkin dia pikirkan kalau saya menggunakan sudut pandangnya, berada pada perspektifnya. Mungkin demikian maksud dari satu paragraf di atas.

Dari film “The Freedom Writers Diary” (baru nonton. Hehe), mba Hillary Swank yang jadi guru baru bilang sama murid-muridnya, bahwa setiap orang menghadapi sesuatu. It means, tiap orang punya masalah masing-masing yang kalau dikaitkan dengan yang sudah-sudah, ini sama dengan setiap orang punya ujian masing-masing. Kenapa? Sederhana, karena tiap orang berbeda. Orang yang kembar identik sekalipun, katanya punya sidik jari yang berbeda. Jadi, karena orang punya kemampuan beda-beda, makanya ujiannya juga berbeda, jadilah segala-galanya yang dihadapi berbeda-beda. Ya, walau pun ada beberapa yang sama (terlihatnya demikian).

Orang gemuk akan sulit memahami perspektif orang kurus yang mana orang kurus pengen gendut, sedangkan orang gemuk malah memiliki keinginan sebaliknya. Ini simpelnya sih. Saya juga, karena saya merasa agak berlebihan berat badan, makanya saya ingin menurunkannya dengan mengurangi porsi makan saya dan berolahraga atau melakukan aktivitas fisik lainnya. Berbeda dengan teman saya yang berat badannya kurang dan sulit menambah berat badan. Cara yang ditempuhnya pastilah makan sebanyak-banyaknya dan lain-lain.

Kita sudah tau kalau kita berbeda, tapi dari tahu saja kurang. Setelah tahu, kita harus paham tentang perbedaan itu. Kalau sudah paham, masih tetap kurang. Hendaknya dari kepahaman itu adanya tindakan. Salah satu yang dikenal adalah toleransi alias menghargai perbedaan. Banyak orang sudah tau jawaban “kenapa pelangi itu indah?” yang mana jawabannya adalah karena pelangi itu tersusun dari warna yang berbeda-beda. Coba kalau pelangi itu isinya Cuma warna biru doang atau ungu doang. Tetapi dari pemahaman itu kadang mereka masih sering memperdebatkan perbedaan. Ya udah sih, orang mah punya urusan masing-masing karena setiap orang itu berbeda-beda.

~Life to Do!