“Nikmatnya” Arus Balik Mudik

Assalamualaikum…
Hai…hai…udah lama sekali ya blog ini tidak terurus, karena adminnya sibuk *halah*. Singkatnya belum menemukan waktu seindah saat ini untuk menulis banyak hal di kepala yang kalau lama-lama dibiarkan bisa bikin kepala pecah. Ya, selalu bamyak hal yang ingin ditulis dan rasanya tangan juga udah gatal karena lama sekali vakum dari “menari di atas tuts”, so let’s break It up right now. Ya ya ya, daripada besok-besok tagihan utang buku datang, mari kita mengisi blog yang dari tadi kayanya udah kaya jomblo bertahun-tahun *curhat*
Nikmatnya arus balik mudik? Hmm…baru tahun ini tuh ngerasain. Bukan mau songong atau gimana ya, sejujurnya saya emang baru tahun ini ngerasain in touch langsung arus balik mudik yang emang M.A.C.E.T. Gak pake bohong emang ngebetein dan menguji apa yang udah dilatih selama Ramadhan kemarin. Gak pake bohong juga emang pengalaman yang unforgettable, bikin dua rumah panik alias gak tenang. Rumah di kalimantan which is orang tua yang sibuk nelponin tiap jam dan rumah kosan di tegal, tempat stay selama KKP berlangsung.
Nikmatnya sebenarnya bermakna ganda karena selain bernilai kebetean karena waktu tempuh jadi dua kali lipat biasanya (yaelah, namanya juga macet), di sisi lain ada hikmahnya juga. Kemacetan arus balik yang biasanya cuma ditonton dan diketahui dari kotak ajaib segi empat atau dari mulut orang yang mengalami kejadiannya langsung, bisa dengan bangga diceritakan sendiri. Bangga? Iya, dong. Selama dua puluh tahun hidup di Indonesia, biasanya selalu mudik dengan jalur udara yang saya juga pengen tau kapan sih jalur udara bisa macet (bukan gurauan), atau kalau pun mudik dengan jalur darat biasanya pulang ketika arus balik udah reda. Jadi euforianya gak berasa, sampai kemarin itu. Melalui sebelas jam perjalanan dari Kebumen ke Tegal, berangkat jam sebelas kurang dan baru sampai pukul sepuluh.
Emang sih, gak akan ada apa-apanya dibandingkan dengan teman-teman atau orang-orang lain yang menempuh waktu dan jarak lebih lama, mungkin ada yang sampai dua puluh delapan jam atau lebih dari itu. Tapi, buat saya, this is the first experience yang benar-benar membuka mata banget. Bukan Cuma prihatin dari layar kaca, tapi prihatin dari hati.
Sepanjang perjalanan yang berisik (karena duduk di sebelah pintu masuk, alhamdulillah dapat tempat duduk :D), berbagi cerita sama keluarga kecil yang ternyata destinationnya sama, Cuma beda desa. Mengalami dan merasakan, benar-benar merasakan bagaimana macetnya jalan yang kalau ketemu pusat macet, jalan semeter-dua meter berhenti beberapa menit, belum lagi penumpang lain yang bawa anak kecil terus si anak rewel entah karena bete lama-lama dalam kendaraan, entah kepanasan, entah kelaparan dan entah alasan lainnya. Ah, enak ya jadi bayi. Jujur, polos dan berani mengutarakan isi hati tanpa takut apa-apa. Haha. Adik kecil yang menangis jujur karena bete, sementara orang tua dan orang dewasa di sekitarnya sudah berkewajiban to endure it more and more.
Kasian ngeliat dan ngedenger mereka nangis. Apalagi kalau nangisnya bertahan lama dan kenceng. Ada sih (mungkin) beberapa yang bete ngedengernya, tapi ya sabar aja kali ya. Toh dulu waktu kita kecil, kita juga sejujur dan sepolos itu kan? Menangis sebagai bahasa universal bayi untuk menyatakan segala hal yang gak nyaman dirasakan. Dan orang tua kita akan panik untuk menenangkan kita.
Ngomong-ngomong soal orang tua, tahun ini saya lebaran tanpa orang tua (lagi). Kalau gak salah sih ini udah yang ketiga kalinya. Pertama kali tahun 2009, ini yang paling nelangsa menurut saya, tapi banyak kenangannya juga sih. Malam takbiran di angkot, tertidur karena kelelahan dan kesedihan (mungkin). Tiga tahun lalu, lebaran di rumah nenek, dan tahun ini juga di rumah nenek dengan konfigurasi keluarga yang kurang lebih sama dan perasaan nano-nano yang timbul tenggelam. Ya ya ya. Kata homogenic mah, get up and go *sotoy*
Gara-gara arus balik juga, makin besar keinginan dan cita-cita someday Indonesia bakal punya jalur subway, kereta bawah tanah atau mass transportation lainnya yang lebih memadai. Gak Cuma bergantung dan berharap sama jalan tol yang kalau manusianya tambah banyak, ya kendaraanya tambah banyak. Which is nambah banyak jalan tol and bikin makin panas karena mungkin banyak pohon yang ditebang.
Sekian, celotehan saya malam ini. Semoga gak ngawur, dan selamat idul fitri 1434 H. Mohon maaf atas segala kesalahan ya. Semoga bisa ketemu Ramadhan tahun depan *amin ya Allah*

#lifetodo