Dewasalah!

Dewasalah, hei nak! Kamu sudah bukan anak-anak umur 5 tahun yang masih nangis cengeng kala jatuh dari sepeda. Kamu bukan anak-anak kelas 6 SD yang nangis lalu digendong paman kamu karena jatuh. Kamu bukan mereka yang mudah patah dan kecewa. Kamu berhati kuat dan lapang. Orang yang tidak akan mudah kecewa hanya karena masalah 3 nomor yang lupa dikoordinasikan, kamu tidak akan mudah kecewa hanya karena masalah-masalah sederhana. Dewasalah!

Hei, nak. Mungkin hati kamu harus lebih dilapangkan dengan menuruti nasehat ibu kamu, sehingga masalah sepele dan remah-remah macam begini tidak akan merusak mood kamu sehingga mengorbankan orang lain yang harus menikmat wajah “tidak menyenagkan kamu”. Sudahlah. Tidak ada habisnya hari ketika kamu mendaftar segala rasa kecewa dan kesal karena kamu diabaikan dan dikesampingkan. Sudahlah. Masalah tidak serumititu. Sudahlah. Berdamailah. Kalau kamu merasa lebih lega dengan menangis, menangislah. Kalau kamu merasa lebih lega dengan menulis, menulislah, sebanyak apa pun itu. Berdamailah dengan hatimu sendiri.

Aku bilang apa, kamu tumbuh dibesarkan dalam lingkungan yang keras dan tegas untuk menopang sikap tidak mudah kecewa, tidak mudah goyah, tidak mudah lemah. Lingkungan keras yang tidak membiarkan kata-kata serapahan keluar, karena kamu tahu apa pun yang keluar akan ditanyakan nantinya. Lingkungan tegas yang selalu memerintahkan kamu sarapan tepat waktu, mengatur segalanya tepat waktu, mengerjakan segalanya tepat waktu, walau kesininya kamu banyak sekali melanggar. Lingkungan yang seperti itu pula yang membuat kamu tidak mudah lemah hanya karena beberapa hal remah-remah roti. Sudahlah. Aku bilang kamu pasti bisa menjadi anak yang tangguh seperti biasa, kamu itu kuat kok! Percayalah!

Walau mungkin selalu ada saat-saat lemah dimana kamu hanya ingin pulang ke pelukan Bunda, pulang ke rumah. Selalu ada saat dimana kamu lemah dan terlemahkan. Hingga hanya heningnya senja di ufuk barat yang bisa menghibur kamu. Hingga kadang tangisan yang menjadi teman kamu untuk sesaat atau bunyi keyboard yang meneani kamu melalui sesi stress management. Hei, kamu itu manusia kok. Bukan robot yang selalu harus kerja 12 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, 30 hari dalam sebulan. Jangan salahkan diri kamu, yang kamu perlukan adalah kekuatan yang akan menopang kamu. Kamu tahu itu apa, tapi sekarang kamu mengabaikannya. Kamu tahu letak kesalahan kamu. Kamu harus belajar dan memperbaiki. Untuk itu manusia hidup. Untuk belajar menjadi lebih baik.

Kata seseorang, lepaskan apa pun yang menjadi beban kamu di perjalanan. Kalau kamu mau mendaki gunung dan kamu tidak butuh membawa buku, tinggalkanlah buku itu. Kalau buku itu membebanimu, lepaskanlah ia. Tinggalkan ia di mana ia seharusnya berada. Jangan memaksakan apa-apa yang tidak bisa dipaksakan. Sekuat apa pun pundak kamu, pada akhirnya kamu akan menyerah membawanya. Mau sekeras kepala apa pun kamu berusaha membawanya, kamu memang tidak ditakdirkan membawanya. Sudahlah…menyerahlah. Kadang-kadang ada banyak hal di dunia ini yang harus kita leapskan, seperti menghela napas, Selalu ada keikhlasan di dalam sana. Bayangkan kalau kamu saja tidak mengikhlaskan karbon dioksida yangharusnya kamu lepas, bagaimanalah nasib paru-paru kamu. Buku itu mungkin salah satu hal yang harusnya kamu ikhlaskan dengan lapang dada, sejak lama. Kamu mungkin akan emndapatkan gantinya, yang lebih baik, yang lebih sesuai dengan beban kamu. Percayalah! Lepaskan ia seperti menghela napas. Dewasalah

Hei, akhirnya kamu tiba di masa-masa memikirkan dan bertanya tentang masa depan. Mungkin itu salah satu indikator kedewasaan. Mungin nanti aku akan berhenti berkata “Dewasalah” karena kamu sudah dewasa. Dewasa dengan apa pun yang menjadi tanggung jawab kamu, apa pun yang menjadi hak kamu. Kamu akhirnya merasakan dan bertanya juga, setelah dari sini akan kemana, akan bagaimana, akan bertemu dengan orang-orang seperti apa, bersiap dengan adaptasi yang harus dikerjakan.

Tentang Waktu

When another people confused with their spare time, we didn’t feel the same.
When our colleagues confused with their research and trying to run with their plan, we didn’t.

Bukannya apa, itu kenyataan yang sedang di hadapi. Kalau di dunia ini ada istilah transfer, dimana bahkan darah bisa diberikan kepada orang lain dan banyak orang dengan kelebihan lemak tubuh selalu berharap bahwa lemak mereka bisa ditransfer kepada orang lain yang ingin gemuk, maka saya berharap ada sedikit orang yang mau transfer waktu luang mereka kepada beberapa orang. Yeah, I don’t have a plan to explain who’s that people. But, I just wish. Only if that could happen.

Spare time yang orang lain sia-siakan, spare time yang dipakai untuk hal-hal gak penting, kita seringnya menyesal di akhir tentang pilihan kita untuk melakukannya. Sementara banyak orang lain yang kebingungan dengan padatnya jadwal mereka. Dengan padatnya rutinitas mereka, lebih banyak mengurus orang lain dibanding diri sendiri. Lebih banyak memikirkan orang lain dibanding diri sendiri, bahkan mengorbankan waktu pribadi dan menunda kepentingan pribadi yang mana itu adalah hak orang kebanyakan demi kepentingan orang lain. Itu bukan saya.

Ketika anda adalah bagian dari orang-orang yang saya sebutkan di atas, maka anda pasti akan sangat belajar bagaimana menghargai waktu. Seringnya dengan banyaknya rencana dan kewajiban dalam sehari, namun apa daya waktu tidak sempat. Seringnya dengan banyaknya hal yang harus diselesaikan hingga mengorbankan waktu istirahat, padahal tubuh manusia jelas-jelas punya hak untuk diam sejenak. Tubuh manusia punya hak untuk tenang dan tidak melulu dipaksakan.

Ketika akhirnya sakit menyerang, mungkin itu rencana Sang Sutradara untuk memberikan waktu untuk semua hal. Tubuh, pikiran, hak dan kewajiban. Ketika sakit datang dan tidak ada lagi pilihan kecuali istirahat, mungkin itu saatnya berhenti sejenak. Mungkin kita akan tertinggal banyak hal kemudian kelabakan dengan semua PR yang datang. Menurut saya, manusia itu macam planet di tata surya, punya orbitnya masing-masing dan punya kala rotasi serta kala revolusinya masing-masing. Tiap orang punya jalannya masing-masing. Makanya sulit untuk transfer waktu luang, even I really wanna make that idea comes true.

Kata orang time is money. Ya, time is really money ketika kamu sadar bahwa buku yang kamu pinjam dari perpus sudah melewati masa expired datenya and you have to take the responsibility with pay the fine. Waktu adalah uang dan kamu akan menyesal sudah melewatkan waktu expired date itu dan harus bayar denda sekian banyak rupiah dan berakhir dengan kekecewaan beberapa pihak. Ya, waktu adalah uang. Uang yang seharusnya bisa dimanfaatkan dengan bijaksana untuk kepentingan lain. Bukan, bukannya mengeluh dengan yang sudah terjadi, tetapi ini menjadi catatan bagi diri sendiri untuk lebih bijak dan lebih detail mengenai diri sendiri. Tidak lantas terlalu cuek dan melupakan kewajiban sederhana seperti mengembalikan buku tepat waktu.

Tentang waktu, waktu senja yang hanya beberapa menit. Ketika oranye menjalar di langit barat hingga mencapai timur jauh. Begitu juga orang-orang yang merindu, orang tua yang merindukan anaknya yang sudah 2 tahun tidak pulang (maaf, curhat), waktu berjalan begitu lambat ya? Waktu ibu menantikan kelahiran anaknya. Benar, waktu itu relatif. Untuk si ibu, waktu kontraksi satu jam itu seperti satu abad dengan segala kesakitan yang dirasakan, dan buat si anak yang menanti dunia baru, satu jam itu sejenak (mungkin). Untuk pekerja, satu jam lembur itu (mungkin) seharga uang makan keluarganya satu minggu. Untuk murid yang mau ujian, satu jam itu berarti kesempatan mengulang pelajaran atau kesempatan mengistirahatkan otak setelah digunakan untuk belajar dengan sistem kebut semalam.
Waktu. Tiap orang punya definisi berbeda soal waktu. Kamu?

~perpustakaan, kala senja menanti kepulangan…
#lifetodo

Mimpi : Global Village

Mimpi. Dua suku kata yang menurut saya bisa menggerakkan. Dua suku kata yang bisa mengusir kemalasan, sungguh. Sebuah kata yang penuh dengan imajinasi dan ada unsur harapan di dalamnya. Mimpi, seperti kumpulan permen kapas yang manis dan menyenangkan tapi gak bikin karies alias gigi bolong haha.

Mimpi, sesuatu yang akhir-akhir ini saya perhatikan pada beberapa orang dengan kerja kerasnya membangun suatu desa di Jawa Tengah, dengan modal sumber daya setempat. Dengan adanya dukungan dari warga dan kontribusi warga sekitar, dengan adanya sokongan dari pemerintah. Benar-benar sosok pengembangan masyarakat yang ideal (fans berat mata kuliah Pengembangan Masyarakat).

 Mimpi, yang jika kita melihatnya mereka seolah sedang bermain-main dengan apa yang ada. Nyatanya, tidak demikian. Mungkin hati kita masih terlalu sempit, kita masih nyaman berayun-ayun di zona nyaman yang itu-itu saja. Terlalu takut untuk sekedar dari ayunan yang menghanyutkan pikiran. Terlalu takut jatuh jika tidak hati-hati, juga takut sakit dan kecewa. Manusia memang harus berhadapan dengan kekecewaan, bukan? Ah, sudahlah.

 Mimpi, yang membuat saya takjub dengan kerja keras mereka. Dengan semangat mereka membangun suatu desa dengan modal bambu-bambu yang didesain dengan kreatif.

 Saya juga jadi ikut-ikutan punya mimpi seperti mereka. Ingin membangun desa, Global Village. Yang diyakini oleh Singgih Susilo Kartono bahwa suatu hari nanti (bahkan mungkin sekarang sudah dimulai), desa yang akan memasok kebutuhan kota-kota di dunia. Bukan sebaliknya, seperti beberapa dekade lalu. Desa yang nantinya akan menyediakan kebutuhan pokok manusia-manusianya.

 Saya juga ikutan bermimpi, di masa depan akan tinggal nyaman di desa dengan keramahan tetangga, dengan keasrian halaman depan dan belakang yang ditanami dengan bunga atau buah dan sayur, dengan interaksi yang tidak dipagari. Terlibat dalam acara warga desa dengan perasaan bahwa kita semua adalah keluarga. Bisa berkontribusi bagi gizi di desa tersebut, sehingga anak-anak kecilnya akan tumbuh tinggi sesuai usia mereka, akan memiliki postur tubuh yang tidak gemuk dan juga kurus. Sesuai saja dengan tahapan kehidupan mereka. Anak-anak yang bahagia memakan buah dan sayuran dari kebun yang dirawat oleh keluarga mereka sendiri, anak-anak yang belajar dengan riang, anak-anak yang tumbuh sesuai dengan tahapan dan waktunya. Tidak perlu terlalu cepat atau terlalu lambat, secukupnya saja. Orang dewasanya bisa makan dengan bahagia, tanpa perlu takut apa pun. Karena mereka tahu dan paham hakikat makan itu sendiri. Global village, dalam bayangan saya saat ini adalah demikian, khususnya untuk gizi dan kesehatan.

 Global village, mungkin kita bisa bermimpi untuk tinggal di villa tiap hari dengan penghasilan yang terus menerus mengalir. Tidak perlu ketakutan akan kurang apa pun, toh semuanya sudah ada di desa kita, bahkan desa kitalah yang menyokong keperluan banyak tempat. Global village, dengan warga yang saling bekerja sama, dengan nilai yang dipegang dengan kokoh, rasanya hal itu mungkin.

 Mungkin, global village untuk anak pertanian macam kami bisa diwujudkan dengan integrasi lulusan dari semua bidang. Mungkin, global village itu bisa jadi kenyataan, menggunakan hasil penelitian yang sudah ada. Semoga…

Harapan

Kata yang dieja dengan 3 suku kata, ha-, -ra dan -pan. Rasanya hati bahagia mendengarnya. Untuk orang-orang yang hidup dalam pesimisme, tiga suku kata tadi bermakna ganda bagi mereka. Makna pertama adalah cahaya yang dalam di gelapnya hari dan makna kedua adalah bukan harapan. Untuk orang yang pesimisme, (mungkin) harapan adalah sama menakutkannya seperti dijatuhkan dari lantai gedung paling tinggi. Sama-sama berisiko untuk mereka. Bagi orang normal, punya harapan adalah salah satu motivasi mereka untuk bangkit. Motivasi bagi mereka untuk terus berubah, bergerak, move on.

Aku, jika harus menjelaskannya secara orally kepadamu, bagaimanalah. Aku bingung harus mengeja dengan huruf apa dan harus mengatakannya dengan cara yang bagaimana. Kamu punya harapan. Harapan yang kamu simpan jauh-jauh, rapat-rapat. Walau pun kamu tidak pernah mengatakannya, diammu seolah bercerita seribu kali lebih banyak dan lebih nyaring daripada bahasa apa pun. Aku tahu. Karena selama ini akulah yang selalu bersama denganmu. Kalau malam menyapa atau siang datang dan pergi. Saat hujan gerimis yang aku dan kamu sukai, saat panas yang menyengat, saat kota kita mendung dan hanya angin dingin yang berhembus, saat kebersamaan adalah harapan yang banyak kamu doakan dalam diam, dalam setiap sujud. Hanya harapan yang sederhana. Aku tau, kamu tidak mampu untuk berharap lebih dari ini. Karena kamu tahu rasanya berharap lalu kecewa.

Harapan. Ya, aku juga punya. Tentang kamu. Tentang dia. Tentang kita.

Harapan. Itu adalah sesuatu yang dieja orang yang mau loncat dari pesawat, bahwa dia akan selamat dengan menggunakan alat bantu. Harapan. Adalah sesuatu yang dieja ibu yang melahirkan, agar buah cintanya tumbuh selamat dan sehat. Harapan, adalah sesuatu yang dikatakan guru kepada muridnya, dosen kepada mahasiswanya. Harapan, adalah sesuatu yang dikerjakan mahasiswa tentang tugas akhirnya. Segala usahanya adalah harapan dan harapan serta harapan. Harapan sebagai sumbangan untuk memajukan bangsa, sebagai master piece dalam hidup yang empat tahun penuh lika-liku ini.

Harapan, adalah doa yang dipanjatkan seseorang kepada orang lainnya, agar orang lain itu bisa menjadi “bukan orang lain” atau setidaknya agar orang lain itu selalu sehat, penuh dengan kebahagiaan, dimudahkan hidupnya dan selalu bisa dekat dengan Tuhannya. Harapan, adalah hal sederhana sekaligus hal tersulit yang berusaha dieja seorang pecinta itu. Harapan adalah antara iya dan tidak, antara sakit dan terus berprasangka baik pada takdir Tuhan, bahwa hanya doa yang bisa mengubah takdir.

Aku tidak tahu banyak tentang harapan. Aku hanya tahu rasanya berharap, berharap punya nilai baik, berharap kehidupan esok lebih baik lagi dan lagi. Berharap di sisa umur bisa banyak berharap untuk Indonesia. bukan hanya sekadar harapan atau sekedar harapan, tetapi harapan yang benar-benar harapan. Bukan selemah-lemahnya iman, bukan. Tapi sekuat-kuatnya kekuatan. Dengan tangan dan kaki yang masih bisa berlari, dengan mata yang masih bisa melihat, mulut yang masih bisa berbicara, telinga yang bisa banyak merasakan dan hati yang selalu akan berdoa dan tidak berhenti merasa (terinspirasi dari novel 5cm).

~Kota hujan yang sedang musim hujan, 07:04~

Hati : Hidup dan Kerja

“Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau kerja sekedar bekerja, kera juga bekerja” (Buya Hamka)

Waktu menemukan kutipan ini, rasanya dijleb-jlebbin. Ya, apa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, sampai-sampai Allah saja memerintahkan setan untuk menghormati Adam? mau tidak mau pertanyaan itu muncul di kepala saya. Ya, Apa sesuatu itu? Lalu ingat dengan pernyataan di kitab sejuta umat, bahwa manusia itu diciptakan sebagai pemimpin di bumi ini. Kalau kata komkel, born to be leader. Pada dasarnya semua orang adalah pemimpin, kan?

Lalu apa yang membedakannya? (balik ke topik awal). Semua orang punya jawaban masing-masing, tapi pasti ada titik atau jawaban yang saling bersinggungan seperti diagram venn. Pasti ada, dan menurut saya salah satu jawabannya adalah karena manusia diberi akal pikiran dan juga hati. Kombinasi dari semua itu melahirkan sesuatu yang tidak ddimiliki oleh babi yang tinggal di hutan yang sama-sama HIDUP. Kombinasi itu yang tidak dimiliki oleh kera yang sama-sama BEKERJA.

Ketika bicara tentang kondisi ideal (jadi ingat fisika, hukum gas ideal), seharusnya dengan apa yang dimiliki manusia, korupsi-kolusi-nepotisme tidak akan sebanyak saat ini. seharusnya, yang namanya genosida dan perang saudara gak pernah muncul di surat kabar mana pun. Artis atau siapa pun itu yang digosipkan secara berlebihan dan keburukkan akibat ulah manusia tidak akan pernah mampir di telinga manusia itu sendiri. Sekali lagi, kita bicara soal kondisi ideal, seideal-idealnya skor PPH yang menurut Milenium Development Goals (MDGs) tahun 2020 skornya harus 100.

Kalau hidup cuma sekedar hidup, maka mungkin jadinya banyak ketidakpedulian bertebaran di mana-mana. Seolah bisa mencium aroma individualisme di udara setiap pagi yang harusnya beraromakan kesegaran dari embun. Bahkan mungkin juga tidak berbentuk embun lagi, karena hidrogen dan oksigen sudah tidak lagi terikat dalam satu ikatan bernama H20 dalam wujud cair. Kalau hidup Cuma sekedar hidup, maka mungkin makin banyak anak-anak yang melaporkan orang tuanya kepada pihak berwajib karena dituduh mencuri padi di ladang yang dulunya milik orang tua tersebut. Yang sudah diwariskan seiring berjalannya waktu.

Kalau hidup cuma sekedar hidup, maka mungkin pelangi tidak lagi terlihat indah. Karena ketujuh warnanya akan tergantikan dengan warna lain bernama kemewahan. Kalau hidup cuma sekedar hidup, maka nikmatnya menolong dan membuat senyuman diwajah orang lain mungkin akan tergantikan dengan kesenangan lain yang entah bisa bernama apa saja, tergantung selera orang. Kalau hidup hanya sekedar hidup, yang mana kita hanya akan memikirkan mengenai kebaikan diri kita sendiri tanpa memperhitungkan bahwa apa pun yang kita lakukan akan selalu berkaitan dengan orang lain, maka mungkin di situlah tidak ada bedanya dengan yang tinggal di hutan. Kalau bekerja hanya sekedar bekerja, maka apa bedanya dengan kera yang sama-sama bekerja, mengumpulkan buah-buahan dari satu dahan ke dahan lainnya atau berpindah-pindah untuk mengumpulkan sumber energi bagi keluarganya.

Kalau hidup tidak ingin sekedar hidup dan bekerja tidak sekedar bekerja, maka mungkin unsur yang tidak pernah boleh dilupakan adalah unsur hati. Tempat di mana segala hal berpulang dan berasal, tempat dimana kebaikan berasal. Hati yang benar-benar hati. Bukan yang hati-hati-an atau kw atau malah palsu. Hati sebenar-benarnya hati. Karena hati yang sesungguhnya tahu apa yang menjadikan hidup tidak sekedar hidup dan bekerja tidak sekedar bekerja.

~kota hujan, senja hari~

Survive!

Selamat subuh…masih pukul 5.13 ketika saya mulai menuliskan beberapa kata awal di sini. Selamat berkarya, memang pagi hari adalah waktu terbaik. Ketika belum banyak orang yang bangun (mungkin) dan ketika udara masih bersih-bersihnya, saat belum banyak kendaraan bermesin lalu-lalang dan membuat suara-suara yang ada sehari-hari.

Survive, manusia memang harus bertahan hidup, kan? Di tengah kejamnya dunia (halah), di tengah makin matrenya kehidupan, walau banyak juga orang yang masih tulus-ikhlas-baik hati. Dan mari kita berdoa, agar populasi orang tulus-ikhlas-baik hati jumlahnya bertahan malahan meningkat. Manusia memang harus bertahan, kan? Dengan segala pilihan yang sudah dia tetapkan. Kebosanan memang tantangan terbesar untuk stay di posisi dan kondisi yang sama.

Survive dengan pilihan yang sudah dibuat, mungkin bisa membuktikan kepada diri sendiri dan orang lain betapa dewasanya. Menantang rintangan kebosanan yang seringnya datang dari diri sendiri. Melawan kebosanan yang kalau tidak pintar, malah akan membunuh banyak aspek, banyak hak orang dan lain-lain. Bertahan bukan hanya butuh dukungan dari diri sendiri, tapi juga butuh faktor pendukung dari luar, faktor eksternal. Tapi tetep iya, bahwa segala apa yang terjadi itu juga karena keputusan dari kita. Kan Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya? (semoga tidak sok tahu, ya?)

Survive dengan topik yang sama, lalu senang karena menemukan laman ini. Seneng, semacam mendapat dukungan setelah berminggu-minggu galau dengan topik yang sama. Mau move on dari topik itu atau survive. Dan saya memilih pilihan kedua. Setelah membaca judul-judul yang ada, makin semangat untuk penelitian. Memang saya belum bisa ngajuin proposal penelitian ke sana sih, secara masih undergraduate student (-__-). Terus kenapa? Gak papa sih, berasanya dapat teman seperjuangan aja. Menemukan banyak orang dengan semangat yang sama. Haha…

Pengen nyari inspirasi lagi, apa lagi yang bisa diutak-atik dari subjek yang pengen saya teliti. Ingin segera menyelesaikan proposal penelitian, segera menghadap dosen pembimbing lalu menerima segala macam coretan revisi proposal dengan hati bahagia (kebahagiaan yang aneh). Ngebayangin bolak-balik ketemu dosen demi revisi semacam ada bunga-bunga bertebaran di sekitar saya, komik banget gak sih? haha.

Seru aja kayanya. Biar kata banyak orang, tingkat akhir itu sesuatu, ya memang sesuatu. Sesuatunya itu di perasaan deg-degan ngurusin penelitian. Apalagi penelitian yang jauh dari habitat kampus, yang belum kebayang banget bakalan gimana di sana. That’s why proposal penelitian kudu perfect. Supaya di lapangannya lancar jaya *amin*.

Sempat gak bisa Survive dengan topik yang ini karena takut gak bisa ikutan seminar ID, tapi ya sudahlah. Jalani saja. Jalanan di depan memang masih abu-abu sekali, tapi saya jadi semangat lagi. Saya jadi penasaran lagi. Saya jadi tertarik lagi, hati saya tersentak dan tergerak (sumpeh, ini bahasa gak nahan :D).

Karena unsur terpenting agar dapat survive dalam penelitian yang banyak menguras tenaga, pikiran, kantong dan mungkin juga hati adalah ketertarikan terhadap apa yang akan kita teliti. Seberapa penasaran kita terhadap objek penelitian kita, seberapa sabar kita menghadapi tantangan yang ada dipengaruhi bangat sama rasa penasaran ini. Mungkin orang-orang yang jadi peneliti itu harus punya rasa ini –> rasa penasaran (kepo banget haha).
Mungkin karena belum kebayang tentang penelitin, jadi ada perasaan takut sekaligus penasaran. Nanti jadinya bakalan gimana? Bagaimana pas udah dijalanin? Bagaimana pas udah dapat data? Dan lalalala lainnya.

~Terus penasaran untuk siapa pun yang mau penelitian. Semangat hari selasa, jadi lebih baik yuk daripada 1 detik yang lalu~

#lifetodo

“Ide Mah Datengin!”

Sejak menulis menjadi semacam kebutuhan *songong*, kehilangan ide adalah masalah besar bagi saya. Masalah banget, sampai-sampai kudu nongkrong dimana dulu demi mendapatkan ide menulis *halah*. Lebay memang, tetapi masalah ide menulis yang gak datang-datang memang jadi masalah bagi banyak penulis. Saya memang bukan penulis, Cuma penulis blog yang keseringan blognya jadi tempat sampah. Haha. Bukannya bangga menuliskan hal-hal sampah, tapi nulis itu emang jadi terapi untuk segala macam stres yang ada.

Kalau orang lain pada sibuk sama urusan masing-masing dan belum menemukan orang serta sikon yang tepat untuk bercerita, maka blog, tumblr, notes di fb akan jadi sasaran. Walau pun memang tidak akan berani untuk menyatakan segala apa yang ada secara frontal nan lugas. Saya tetap menjaga privasi diri sendiri dan perasaan orang lain. Makanya sejak SMA sudah insyaf dan tobat, untuk tidak pasang status atau menulis macam-macam yang meresahkan banyak orang yang membacanya.

Balik ke soal ide, banyak dari kita yang mengatakan bahwa “Ilham belum datang nih, dia kemana sih?” atau “Lagi gak ada ide”. Maka orang paling absurd yang pernah temui dalam hidup *gak tau deh*, bilang pagi ini, bahwa “Ide mah datengin!” pake tanda seru (!) pula. Emang orang paling gak biasa.

Setelah dipikirkan dengan matang, memang kalau lagi gak ada, ya carilah ide. Jangan diem aja nunggu di pojokan, garuk-garuk tanah, dengan mata menerawang. Serem gak sih? Kaya film horor aja. Haha…

Ide mah datengin. Kalau si ide lagi main ke tetangga, panggillah dia pulang. Kalau si ide lagi masak di dapur, panggillah dia untuk datang. Kalau si ide lagi pacaran, marahin aja. Masih di bawah umur udah pacaran. Atau gak kasih bukunya Felix Siauw yang judulnya #Udah Putusin Aja *bantuin promo*.

Saya jadi terbuka pikirannya, padahal hanya dengan perbincangan singkat lewat jejaring sosial. Iya yah, ide mah datengin. Usaha dong. Caranya banyak kok, bisa dengan ngobrol sama orang. Orang paling waras atau orang paling absurd, tapi jangan orang gila ya. Bisa sih, orang gila jadi bahan tulisan. Macam penelitian sosial dengan topik Pengaruh Kehidupan yang Makin Kejam terhadap Tingkat Kewarasan warga XXX. Jadi bisa buat bahan referensi orang-orang jaman sekarang dalam menghadapi kehidupan yang makin kejam, agar tidak gila.

Di dalam kitab sepanjang massa yang keasliannya terjamin oleh Allah  Al Qur’an, Allah tidak akan mengubah suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada mereka (ar-Ra’d : 11). Makanya, kalau mau punya ide menulis, carilah ide itu. Sering-sering baca buku, sering-sering searching soal topik yang mau ditulis. Sering-sering diskusi sama teman, siapa banyak ide bagus untuk menulis dan menggerakkan orang.

Teman saya yang absurd itu, yang namanya sebaiknya tidak usah disebutkan, mengatakan bahwa dia dan temannya (temannya gak absurd) melakukan perjalanan 3 hari ke salah satu pulau di gugus kepulauan Seribu, karena membaca salah satu tulisan di blog orang. Padahal kalau kata teman saya yang absurd ini, belum tentu juga yang nulis udah pernah datang ke sana. Tetapi karena tulisan saja, dari blog pula, yang notabene bukan tulisan ilmiah, bisa menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu. Untuk melakukan perjalanan jauh selama tujuh jam ke arah utara pulau Jawa. Yang mana sedikit perjalanan sampai di Lampung dan Bangka Belitung.
Karena tulisan sederhana, bisa menggerakkan banyak orang. Saya ingin sekali bisa menjadi bagian dari orang-orang yang memproduksi tulisan seperti itu. Yang tulisannya dijadikan referensi banyak orang, menyerukan sesuatu yang memang harus diserukan. Kebaikan. Makanya dari sekarang harus latihan nulis setiap hari, mencari ide yang bagus, bukan hanya sekedar curahan hati yang semoga gak galau-galau mulu (kecuali galau akademik).

~Selamat siang dari tempat ternyaman di kampus, kampus Dramaga. Selamat beraktivitas, jangan lupa makan makanan yang bergizi,seimbang, beragam dan aman~

#lifetodo

Cie cie

Pernah gak sih jaman SD, SMP atau SMA main cie-ciean? Emang Cie-ciean termasuk permainan? Entah sih, tapi yang awalnya cuma iseng belaka, bisa jadi malah beneran dicie-in. Nah lho? Kenapa coba?

Dua orang yang termasuk korban cie biasanya merupakan orang yang sering barengan dalam suatu kegiatan, entah piket bareng, duduk sebangku, rumahnya deketan jadi tiap hari berangkat ke sekolah barengan, punya hobi yang sama dan lain-lain yang ada aja alasan untuk masuk list korban cie-cie. Dan percaya gak sih, kebanyakan dari korban cie-cie itu akhirnya beneran merasakan apa yang dicie-ciein sama teman-temannya.

Kalau menurut saya kegiatan bernama “Cie-cie” itu menyulitkan banyak pihak. Ya iyalah, yang awalnya gak punya perasaan apa-apa, karena dicie-ciein secara konsisten selama 3 minggu misalnya (kebanyakan orang dicie-ciein selama satu semester), mau gak mau kalau ketemu orang yang dicengcengin (dicie-cien) dengan kita, maka bakalan salah tingkah. Atau gak, yang awalnya cuek, lama-lama jadi gak betah. Gak enaklah, gak suka atau perasaan lainnya. Dan biasanya jenis perasaan yang menjengkelkan itu sering sekali muncul karena “cie-cie” persisten yang dilakukan orang lain.

Mau gak mau, kepikiran. Dicengcengin karena masalah sederhana, misal hari ini pakai baju dengan warna yang sama. Atau (secara kebetulan) makan makanan yang sama. Dan banyak sekali alasan lain yang bisa banget dibikin alasan untuk cie-cie sama teman-teman kita.

Kata orang, cinta itu gak harus selalu about first sight. Tapi kebanyakan karena “terbiasa”. Alah bisa karena biasa. Bisa kepikiran karena kebiasaan digodain. Wajah bisa memerah malu karena keseringan diceng-cengin. Bisa beneran suka juga karena semua kebiasaan yang sudah disebutkan sebelumnya.

Jujur deh, pasti dikit orang yang bisa biasa aja alias gak ngerasa apa-apa setelah diceng-cengin secara persisten sekian lama. Atau bahkan mungkin ada dari kalian atau kita yang kangen kalau udah gak diceng-cengin lagi. Menjadi punya perasaan “itu” setelah lama tidak dicie-ciein oleh teman-teman kita. Rindu dengan hal yang biasa. Rutinitas kadang-kadang bisa menjebak, kan? Menjebak dalam siklus kebiasaan yang melenakan.

Sebenarnya orang yang suka cie-cie itu sekumpulan orang jahat, menurut saya. Kenapa gitu? Kan orang yang cie-cie gak nyolong duit, gak ngerampok bank, gak maling, gak ngebunuh atau gak menipu. Kenapa dibilang sekumpulan orang jahat?

Memangnya kalau kalian sedang asyik cie-ciein teman kalian, kalian bakalan realize apa dampak berkepanjangan bagi orang yang kita cie-ciein. Peluangnya sih sama, 50:50, untuk seseorang mau merasakan atau tidak merasakan apa yang sudah dibahas sebelumnya. Intinya, perasaan suka. Untuk orang yang blank macam Song Ji Hyo (member Running man), mungkin cie-cie gak akan punya efek sama sekali. Mau dicie-ciein sepanjang episode sama Kang Gary yang mimik flatnya gak nahan (pengen ketawa mulu liatnya), tetep aja dia gak ngerasa apa-apa. Mau ada Song Joong Ki yang udah praktekkin gaya titanic (fly), tetep aja dia lempeng.

Beda sama perempuan yang kebanyakan menggunakan perasaan. Maka apa yang diingat dan dirasakan juga melibatkan perasaan. Kita gak pernah tahu kan, kalau misal si A yang kita ceng-cengin sama si B akhirnya suka beneran. Kita gak pernah sadar kan kalau misalnya mereka akhirnya jadi dekat, lalu beranjak ke tahapan lebih lanjut. Memang kita sadar kalau itu semua akibat dan kontribusi cie-cie kita yang persisten sekian lama?

Atau kemungkinan lainnya, si A dan si B yang kita ceng-cengin akhirnya malah saling menjauh. Padahal awalnya mereka partner banget. Orang yang cocok banget kalau kerja kelompok bareng, atau tim debat paling keren se-kabupaten. Atau orang yang terbiasa saling menolong. Bisa aja kan, karena cie-cie yang persisten itu, persahabatan mereka malah menjadi buruk. Yah, walau pun kemungkinan ini rasanya jarang sekali terjadi, akhir-akhir ini.

Kalau menurut saya, cara terbaik mengatasi wabah “Cie-cie” adalah dengan komunikasi. Kalau memang tidak suka, takut ke depannya menjadi suka karena diceng-cengin itu, atau alasan lain seperti tidak ingin merusak suasana, datangilah rombongan Cie-cie tersebut. Katakan pada orang paling waras di rombongan itu, atau orang yang paling berpengaruh (yang semoga saja dia juga waras). Katakan padanya alasan kita, disertai alasan logis. Semoga dia mau memahami dan mengerti serta menghentikan praktik Cie-cie yang dikhawatirkan menyesatkan hati *halah*.

Selama kita tegas dan memang sungguh-sungguh menjaga perasaan sendiri dan orang yang senasib, insyaAllah ada jalan. Kalau memang belum berhasil, jalan lainnya adalah dengan benar-benar tidak pakai perasaan. Ketika rombongan Cie-cie datang dengan segala amunisinya, maka siapkan pula perisai yang kokoh. Yang tidak akan mudah patah atau rusak saat mereka menyerang dengan serangan paling kokoh. Ketika mereka melancarkan serangan Cie-cie, jawab saja dengan canda tawa serupa. Atau secara cerdas perlahan alihkan dengan topik lain. Intinya jangan pakai perasaan dan jangan dimasukkan ke dalam hati.

Lebay? Kalau menurut saya sih tidak. Hanya berusaha menjaga saja, apa-apa yang memang harusnya dijaga. Sulit? Ya, untuk tidak melibatkan perasaan ketika dicie-ciein oleh teman juga untuk menghindari praktik cie-cie. Sekarang saja saya masih suka iseng “Cie-cie” ke teman sekelas atau adik kelas. Bahkan kakak kelas. Sadar kok dampaknya dan kemungkinan jangka panjangnya, kemungkinan cie-cie saya yang niatnya Cuma iseng turut berkontribusi pada hal-hal yang tidak diinginkan. mungkin harus lebih banyak mengingatkan diri sendiri lagi, untuk mengurangi keisengan yang tidak penting. Lebih baik keisengan yang bermanfaat, macam iseng ngerjain proposal penelitian. Iseng baca buku, iseng meneliti kebiasaan makan orang, iseng ikutan PKM atau LKTI, iseng menulis cerpen, iseng memperbaiki perabotan yang rusak dsb dkk dll.

~Selamat subuh dari Dramaga yang masih sunyi (4.44 WIB)~
#lifetodo

Permak, minta dipermak beneran…

Permak, kali ini maksudnya bukan permak dibenerin atau didandanin atau bagaimana. Tapi sedikit banyak memang nyenggol-nyenggol istilah itulah. Permak itu singkatan dari percobaan makanan, mata kuliah yang sedang saya ambil di semester tujuh ini. Huooo…

Mata kuliah di semester tujuh ini beneran subhanallah, most of them. Kalau permak itu cowok, kelihatan dari jauh si cool, easy going dan menyenangkan. Tapi kalau dilihat lebih dekat dan udah mulai menyelami, tidak seperti persepsi awalnya. Mau dibilang rumit juga gak, mau dibilang simpel juga gak. Ya begitulah.

Penuh tantangan dan penuh perjuangan, begitu komentar saya untuk hampir semua mata kuliah yang ada di semester ini. Walau pun kata udah tingkat akhir, udah mulai nyusun proposal, bahkan ada teman ada yang udah mulai penelitian *kalau gak salah*, kami masih kuliah 16 SKS untuk mata kuliah mayor. Kalau melirik ke departemen tetangga yang notabene masih satu ayah dan ibu, betapa nelangsanya kami. Mereka yang hanya kuliah senin-selasa dan dengan jumlah SKS dibawah 10.

But, no offense lah ya. Setiap orang udah punya jalan dan rezeki masing-masing. Syukuri saja. Alhamdulillah. Kalau dingat, banyak sekali yang harus disyukuri akhir-akhir ini. Bukan, bukannya berbahagia atas apa yang sudah terjadi. Tetapi berusaha berlapang dada dan berbesar hati belajar dari banyak kejadian yang menyenangkan dan yang tidak. Sampai kabar yang membuat panik satu keluarga atas kabar yang dilebih-lebihkan. Ah, kapan sih kabar dibuat dengan apa adanya? Yang jujur, tanpa pretensi. Bukannya bahasa yang digunakan lugas, ya? Harusnya juga bermakna lugas dan jujur.

Kembali ke topik permak, setelah satu paragraf OOT. Permak yang kelompok saya dapat adalah untuk golongan dengan kebutuhan khusus, dan kami memilih untuk membuat inovasi makanan untuk anak autis. Yang mana tidak boleh mengandung gluten, kasein, bahan pengawet, bahan tambahan seperti MSG dan juga tanpa fenol. Hua…tantangan banget. Kalau orang seperti saya yang doyan makan apa aja kecuali durian dan turunannya, makanan manis yang enak sih udah pasti martabak keju yang mana bahannya pasti pakai tepung terigu, yang ditaburin keju banyak dan susu kental manis sampai meler-meler *ah, jadi laper*.

Makanan yang dibuat di permak ini juga harus disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik anak autis. Kata si mbah (partner in crime jaman TPB yang subhanallah bisa ngasih saran yang cerdas based on his experience), kalau bisa makanannya dipacking dengan packaging yang mudah dipegang sama anak autis. Tahu minuman dalam kemasan yang ada tutup botol ulirnya? yang bentuknya persegi panjang tapi bukan balok? Ya itulah yang dimaksudkan oleh si mbah. Tapi PRnya adalah gimana cara ngemasnya? Lagian packaging yang mau dipakai sepertinya lebih mahal daripada isinya -_-

Setelah dipikir-pikir, nampaknya membuat formulasi untuk makanan ini membutuhkan waktu satu semester. Dan pantesan aja banyak skripsi tentang formulasi makanan inovasi. Karena permak itu semester tujuh masbro. Masih hangat dalam ingatan kita. Dan juga penuh tantangan. Bagaimana caranya membuat makanan yang bergizi, bisa mengatasi masalah gizi dan enak plus diterima oleh golongan yang menjadi sasaran. Itu PR besarnya.

~selamat senja hari yang mendung dari Sekretariat BEM FEMA, kampus IPB Dramaga~

#lifetodo

Kisah Si Dinding #2

Kisah Si Dinding (part II)
Aku si dinding putih di kamar pojok, kamar yang jauh sekali dari keramaian di dinihari karena semua penghuni kosan ini tergelindingkan dalam mimpi masing-masing. Kecuali beberapa orang yang menderita tak dapat terlelap di malam hari dan malam terbuai kantuk di siang hari. Menderita sekali bukan untuk menjadi tidak produktif.
Penghuni kamar pojok ini seseorang yang menurutnya biasa saja, dan malam ini dia sedang menderita. Insomnia menemaninya hingga senja bangun dari mimpinya. Bahkan yang seharusnya terlelap pun harus menderita, dengan mata yang sulit sekali diajak terpejam, harus menatap layar yang menyala dari pagi dan menyenandungkan lagu-lagu, sesekali bacaan merdu sebelum adzan memanggil. Insomnia yang kesekian di bulan ini. Dan bulan yang kesekian di tahun ini. Tahun yang kesekian dalam dua puluh tahun hidupnya.
Penderitaan apakah yang dia miliki, aku penasaran dibuatnya. Tapi menatap wajahnya yang semakin sendu hari ke hari, sepertinya bilangan masalahnya tidak akan cukup hanya dengan menghitung ruas jari. Mungkin juga masalahnya biasa, tapi bisa jadi tidak biasa.
Aku perhatikan dari hari ke hari, layarnya sering sekali memperlihatkan halaman akun seseorang yang sama dari waktu ke waktu. Aku penasaran, makin. Mencoba menyelidikinya dan berusaha membuat kesimpulan awal bahwa seseorang ini sedang diserang perasaan menyenangkan yang menyulitkan. Kata orang jatuh cinta. Oo…jadi ini yang membuat kantung matanya menebal, yang membuat wajahnya semakin sendu dan kadang ada saat dimana air mata mengalir dari sudut-sudut matanya. Aku yakinkan saat itu dia sedang tidak menonton film sedih atau membaca buku. Aku yakin saat itu dia sedang memandang halaman yang sama, di layar berukuran sekian inci itu.
Siang ini dia kembali. Dengan raut yang berbeda, setelah perjalanan panjang yang pastinya melelahkan. Raut yang entah kenapa begitu bahagia, membuatnya bersenandung kecil. Menyalakan energi besar untuk membersihkan kamar yang seperti habis kena badai. Dan energi itu hebatnya bisa bertahan seminggu, menghapus malam-malam terjaga, menggantinya dengan tidur lelap dengan raut tenang. Mengikis perlahan kantung mata yang menghitam.
Rasa-rasanya ada aura gelap yang membayang. Kesenduan seseorang yang begitu kuat. Aku takut. Dan ketakutan itu benar terjadi. Sepulangnya dari bepergian, kesenduan itu kembali. Bahkan dengan energi yang lebih besar. Tidak perlu menunggu lama untuk melihat dua aliran sungai menganak di wajahnya. Sungguh mengiris hati mendengar senandungnya berganti dengan segukan tertahan. Kalau aku ini bukan si dinding, ingin rasanya aku pergi dari ruangan ini. Kalau ini bukan si dinding, ingin rasanya aku membelai lembut punggungnya, menghadirkan perasaan nyaman. Kalau aku bukan si dinding, ingin rasanya aku bernyanyi untuknya, mengusir segala kesenduan yang kembali membayang. Bahkan kali ini dengan energi yang lebih besar.
Ia ada dalam kondisi itu cukup lama, kemudian terlelap begitu saja. Melupakan segalanya menuju kematian sementara, mungkin obat terbaik untuk segala kesedihan. Tapi bisa jadi malah menumpuknya untuk kemudian meledak di waktu yang lain.

Seseorang itu terbangun. Kemudian keluar lalu masuk lagi. Membuka buku berwarna biru laut kemudian tenggelam di dalamnya. Setengah jam dia ada di posisi yang sama, kemudian tertidur lagi. Aku mengintip catatan di sana, di buku biru laut yang masih terbuka.

“Aku tau, tidak sepantasnya harapan ini terbang setinggi langit dan terlalu lama bersinar di angkasa. Aku tau, tau sekali. Aku paham, paham sekali. Bahwa harapan harusnya hanya dimiliki oleh orang-orang yang berhak, oleh orang-orang yang memang berusaha mengejar harapan dan mimpi mereka. Aku sadar bahwa mencintaimu itu seperti menunggu hati yang sudah pasti patah. Patah setelah sekian tahun berharap…”

#lifetodo